AGAMA itu berasal dari bahasa Sansekerta. A = tidak, GAMA = kacau. Jadi, diksi agama itu maknanya “tidak kacau”. Nah, dari nomenklatur saja sudah jelas, barang siapa berpegang pada tali agama (langit) maka hidupnya tidak bakal kacau. Kalau beragama tetapi masih kacau, bahkan suka ngacau? Nah ini, ini, inii .. Kalau tidak salah paham, mungkin fahamnya salah
Dalam konteks filosofi, agama (Islam) —atau agama samawi lain— itu bukan milik manusia. Agama samawi milik Tuhan. Jadi, sejatinya ia bukan ideologi, bukan aliran, dan sekali lagi, bukan faham. Lebih lanjut akan dijelaskan di bawah.
Iya. Ideologi itu buah pikir manusia yang dijadikan pedoman dalam kehidupan (dan bernegara) seperti kapitalisme, contohnya, atau komunisme, fasisme, pesugihan, ngingu tuyul dan seterusnya — Kakkakkaakk (ketawa ngakak), dua frasa terakhir cuma guyon!
Meski agama itu sendiri bukan faham, tidak pula aliran, tetapi praktik beragama kerap ada faham dan/atau aliran-aliran dalam agama seperti Syi’ah, Sunni dan lain-lain.
Kembali ke nganu. Ketika milikNya (agama samawi) dibawa ke koridor aliran, ideologi dan/atau faham tertentu, maka beginilah jadinya. Sesama agama saling kepruk, saling tebar fitnah, bahkan jika dilepas bisa bunuh-bunuhan antarsesama hanya karena berbeda tradisi dan budaya.
Nah, pada tafsir makrifat, misalnya, “Kuwi wong lali, le! Jalaran nuruti bener karepe dewe, sing bener nurut marang Pengerane,” ujar Ki Jebres sembari klepas-klepus. Leyeh-leyeh. Itu orang lupa, Nak! Karena menuruti kehendaknya sendiri, yang benar mengikuti jalan atau petunjuk Tuhannya.
Maka pantas saja, bila salah satu clue penting dalam mengurai kebenaran versi filsafat adalah: “Bagaimana dianggap benar, sedang langkahmu tidak sesuai petunjuk?”
Siluet (silhouette) adalah gambar tentang sesuatu âobjek apa sajaâ berwarna jelaga. Secara fotografis, ia merupakan efek yang dihasilkan karena ada dua perbedaan antara pantulan cahaya dari objek utama di bagian depan, dengan latar belakang objek.
Siluet juga bisa dihasilkan dengan cara menghalangi pantulan cahaya objek utama. Ini dari sisi fotografi.
Tatkala siluet dianalogi ke ranah (geo) politik dengan mengambil âPetamburanâ sebagai isu, misalnya, munculnya gambar jelaga/bayangan hitam juga disebabkan dua perspektif berbeda dalam memandang objek terkait (geo) politik praktis. Hal itu bisa memunculkan âmasalahâ di publik bila salah satu sudut pandang dihalangi atau terhalangi di satu sisi, tetapi membiarkan sisi lain membentuk siluet. Pada gilirannya, âsiluetâ yang muncul tidak objektif. Ada semacam framing bahkan penggiringan opini demi meloloskan âhidden agendaâ tertentu. Deception. Dalam (geo) politik, lazimnya agenda tersembunyi itu terkait geoekonomi. Inilah salah satu modus sastra (seni) geopolitik: âTebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik, maka kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi (dianggap) kebenaranâ, begitu inti pesan Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di era Hitler dahulu. Silahkan ditafsir lebih detail.
Dan tampaknya, kepulangan HRS menimbulkan beragam isu dan tafsir. Tak bisa tidak. Mulai dari tafsir soal ekonomi, isu politik, sosial budaya, kepemimpinan, agama bahkan tafsir dan isu sejarah.
Misalnya bagaimana?
Kepulangan HRS sebagai isu, ada mengatakan intelijen kebobolan; ada yang bilang cuma penggaduhan situasi sebab ada yang mau ditutupi; atau revolusi (akhlak) selaku tema; ada kekosongan kepemimpinan pada ormas dan parpol Islam, kata JK; bahkan analogi sebagai Ayatolah Khomeni jilid II meski cuma riak-riak (bukan gelombang) revolusi dan lain-lain. Sungguh menakjubkan. Aneka tafsir berserak atas kepulangan HRS di Tanah Air.
Nah, tafsir kecil kali ini mencoba menguak siluet dari perspektif sastra/seni ânamun tetap berbasis geopolitikâ Kenapa sastra? Ya, selain nanti banyak kiasan serta analogi, katanya sich, orang-orang sudah jenuh dengan dalil-dalil dan text book yang kaku.
Seandainya besi terus ditempa akan menjadi tajam, kata ungkapan. Bahwa ketibaan HRS di satu sisi, kuat diduga atas permintaan si pandai besi. Mengapa begitu, selain untuk penggaduhan karena berisik sewaktu ditempa âklontangan, kata orang Jawaâ tetapi pandai besi lupa, besi ditempa justru semakin tajam di sisi lain. Ini diluar prakiraan si tukang tempa. Kenapa? Konon kepulangannya untuk mengalihkan kondisi akibat âisi celenganâ tengah shock diterjang krisis dan pagebluk/pandemi. Soal celengan, diakui oleh Menkeu bahwa APBN mengalami shock, kata SMI.
Sastranya berkata, âCelengan shock itu ibarat, pagebluk adalah kambing hitamâ. Ini baru sebatas asumsi. Perlu ditelusuri.
Kenapa begitu, Omnibus Law atau UU Cipta Kerja sudah diteken serta diasumsikan bisa menyelamatkan negeri ini dari krisis ekonomi (tetapi dengan asumsi), bahwa investor akan berduyun-duyun ingin menikmati insentif dan fasilitas yang diberikan oleh UU Cipta Kerja.
Ah, lagi-lagi â membanjirnya investor hanya ibarat, âzero innâ justru realitanya. Maju tidak, mundur kena. Tidak kemana â mana alias jalan di tempat.Demikian pula isu-isu lain yang disebar, tak dapat mengusir mimpi rakyat tentang Indonesia bersatu, berdaulat, mandiri, adil dan makmur.
Semakin ke sini, publik bertambah cerdas. Mereka bisa memahami kredo junta intelijen: âKebohongan harus ditutupi dengan kebohonganâ. Hebat. Entah kelompok mana bermain, padahal infonya si koordinator telah pisah ranjang dengan sekretaris kendati masih serumah. Pecah kongsi. Jadi, perlu âmusuh bersamaâ untuk merekatkan kembali kongsi.
Balik ke Petamburan. Memang ada siluet di sana. Menakutkan bagi yang kurang paham. Kata ilmu marketing, jika anda tidak mampu mengendalikan pasar, bermainlah di level persepsi. Aduk-aduk alam bawah sadar publik. Eksploitasi ilusi. Tetapi, bagi yang paham detail akar masalah, siluet adalah fenomena lumrah.
Si pandai besi memang titis lagi paten, tetapi cuma paten di permukaan. Ditabur isu lonte publik langsung gemuruh. Titis memang. Masyarakat menikmati guyonan ala peyorasi (pemburukan makna) di satu sisi, juga menyukai eufemisme (penghalusan makna) pada sisi lain. PSK, contohnya, dipanggilnya lonte atau begenggek, kata orang Jawa Timur. Publik kaget. Uringâuringan, tetapi tidak sedikit terbahak-bahak; atau model eufimisme. Preman pasar, penjahat kelas kakap disebut tokoh besar, atau pedagang sukses. Nah, itu eufemisme. Penghalusan makna. Giliran tentang hal-hal substantif di hulu permasalahan bangsa, mayoritas warga gagal mengingat. Lupa. Mereka justru asyik guyonan peyorasi dan eufemisme.
Yah, ada gunungan utang dibiarkan, BUMN merugi diabaikan, APBN megap-megap âshockâ berpura tidak paham, pengangguran meningkat, belum lagi serbuan TKA asing, atau maraknya korupsi, contohnya, daya beli warga menurun dan lain â lain.Lantas, apa pasalnya?
Ternyata proposal ditolak Bank Dunia. Wah, skenario penyelamatan (ekonomi) jangan-jangan menjadi ilusi. Mimpi uang gede pun pupus. Upaya perbaikan ekonomi melalui utang terutama penyelamatan para konglo hitam yang kolaps akibat krisis dan pagebluk, kemungkinan berujung gagal. Sekali lagi, Omnibus Law ditolak Bank Dunia karena disinyalir melanggengkan eksploitasi sumber daya alam secara ugal-ugalan atau istilah kerennya, eksploitasi ultra neoliberalis.
Pemerintah pun ngecer. Utang ke Australia Rp 15,45 triliun (T), ke Jepang Rp 7 T, utang ke Jerman Rp 9,1 T dan ke Amerika antara Rp 10,57 T hingga Rp 28 T (?) bertema pendanaan infrastruktur. Syukurlah. Ada kekhawatiran menyeruak. Mengelola siluet tanpa manajemen (konflik) handal, gambarnya justru bertambah besar, bisa semakin meluas. Rawan. Ini berpotensi timbul benturan sangat kuat lagi keras di akar rumput sebab dipicu oleh sektarian. Hal ini di luar prakiraan si pandai besi, karena kerjanya cuma menempa, tidak paham situasi kalau pola siluet berubah eskalatif. Gilirannya, kasus remah-remah seperti baliho, contohnya, malah meluaskan serta membesarkan siluet. Publik menduga. Ada eksploitasi kebencian sesama warga akibat perbedaan afiliasi politik dan SARA.
Siapa diuntungkan?
Tak boleh dipungkiri, derajat isu sektarian (di Indonesia) sangat sensitif kendati kadarnya masih setingkat di bawah isu sentimen (agama). Ketika terjadi konflik bermenu sektarian nantinya, prakiraan bentuknya ialah âkonflik horizontal semi vertikalâ. Niscaya tidak sedikit korban dari para pihak yang bertikai. Sekali lagi, benturan akan keras lagi kuat. Di dunia maya kini sudah saling mengancam. Kemungkinan bakal ada langkah aparat terhadap kelompok penyebar isu kebencian. Makanya tadi disebut dengan istilah âkonflik horizontal semi vertikalâ.
Nah, tindakan aparat di satu sisi, namun kegamangan di sisi lain karena menyangkut kesatuan dan persatuan bangsa, bahkan timbul friksi di internal. Ada pro-kontra namun soal teknis dan taktis semata. Sungguh, hal strategis justru diabaikan.
Ada pola dalam teori kesisteman, jika level pelaksana salah metode/keliru teknis, misalnya, yang âbergoyangâ justru top manajemen. Ini pakem. Lembaga induk akan sibuk menghadapi serbuan isu-isu baru dari publik, pening mengkontra isu dan counter bully.
Akibat kegaduhan meluas, publik semakin abai ada âshocking bluesâ mengalir pasti. Dan lagi-lagi, segenap bangsa semakin lupa pokok permasalahan yang tengah melilit bangsa. Sebagian asyik bergaduh â ria di tataran hilir, tanpa memahami hakiki yang digaduhkan. Masing-masing sibuk menebar isu kebencian.
Inilah yang tengah berlangsung, entah eskalatif bentuk nanti seperti apa.
Kembali ke sastra. Wali, Jangkane Zaman di kejauhan bertanya kepada para saliknya: âBenarkah kebangkitan selalu diawali kehancuran?
âMbok ojo menebar bidâah, Le! Bidâah itu semodel isu, tetapi mengada-ada. Ngono-ngono ning ojo ngono, ujar Jangkane Zaman sambil leyeh â leyeh.
Ya. Bangsa ini cukup tangguh mempertahankan pluralitas, kemajemukan, heterogenitas serta piawai dalam memelihara kebhinekaan (tunggal ika) yang relatif lestari dari upaya pecah belah (kepentingan) asing dengan aneka modus. DI/TII, misalnya, atau NII gagal total, PKI tertumpas dua kali, bahkan konflik-konflik komunal di lingkaran nusantara seperti kasus Ambon, Sampit dan seterusnya mampu diselesaikan secara baik. Sejarah memang masa lalu, tetapi ia bukan sekedar âbarangâ kuno. Petik hikmah emas di sana. Mengapa? Akibat konflik-konflik, selain energi bangsa terkuras sia-sia, banyak kerugian harta benda, dendam, korban fisik (cacat) dan jiwa, juga luka-luka sosial â ternyata hasilnya mana? Tidak menjadi apa-apa. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Siapa dirugikan?
Semoga anak bangsa tak larut dari tabuhan gendang asing bertajuk pembelahan bangsa!
Pesan pokok yang ingin disampaikan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku “How Democracies Die” (Bagaimana Demokrasi Mati) relatif akurat, karena si penulis mengambil contoh kepemimpinan di beberapa negara yang dinilai membunuh demokrasi.
Poin intinya, justru penguasa terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri yang membunuh demokrasi, misalnya, Chavez di Venezuela, atau pemimpin terpilih di Georgia, Hungaria, Nicaragua, Peru, Rusia, Filipina, Polandia, Sri Langka, Turki, Ukraina dan bahkan di Amerika Serikat/AS.
Menurut Steven dan Daniel, sekurang-kurangnya ada 4 (empat) indikator perilaku otoritarianisme yang menyebabkan matinya demokrasi, antara lain: Pertama, penolakan (lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi. Adapun parameter penolakan antara lain:
(1) apakah mereka suka mengubah-ubah UU;
(2) apakah mereka melarang organisasi tertentu;
(3) apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara; Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi.
Adapun parameternya adalah:
(1) apakah mereka menyematkan lawan politiknya dengan sebutan-sebutan subversif, mengancam azas dan ideologi negara;
(2) apakah mereka mengkriminalisasi lawan-lawan politiknya dengan tuduhan yang mengada-ada?
Ketiga, toleransi, membiarkan atau mendorong aksi kekerasan. Adapun parameternya, “Apakah mereka memiliki hubungan dengan organisasi paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri?”
Keempat, kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil.
Parameternya meliputi:
(1) apakah mereka mendukung (atau membuat) UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan penyampaian pendapat;
(2) apakah mereka melarang tema-tema baru?
Nah, keempat indikator di atas, entah terpenuhi semua atau hanya sebagian, itu sudah bisa disebut bahwa demokrasi sebuah negara sudah mengarah kepada lonceng kematian.
Menurut Steven dan Daniel, tindakan represif tidak hanya membunuh demokrasi tetapi juga menimbulkan polarisasi di masyarakat dan kemungkinan terburuk adalah perang sipil. Jadi, simpulan singkatnya bahwa lonceng kematian demokrasi punya potensi menimbulkan perang sipil atau perang saudara di sebuah negara.
Dari perspektif perang asimetris yang berpola ITS (Isu, Tema/Agenda, Skema), bahwa viralnya dua isu berdiksi lonte dan frasa tukang obat, sebenarnya hanya âpintu pembukaâ belaka. Sekali lagi, kedua isu â selain cuma pintu pembuka akan hal-hal lebih luas, juga terdapat resonansi. Ada efek saling getar serta menggetar antara keduanya.
Pada peperangan asimetris (asymmetric warfare), terdapat dua jenis atau model âisuâ. Tolong jangan keliru merumuskannya. Pertama, isu sebagai pola; kedua, isu sebagai metode. Kalau sebagai metode, misalnya, sifatnya cuma memancing reaksi publik. Test the water. Bila publik bergejolak, timbul pro kontra berpanjangan, lalu ada kontra terhadap isu, lazimnya ia ditarik atau isu tidak dilanjutkan menjadi tema/agenda. Jadi, hanya semacam pengalihan opini, atau penggaduhan situasi saja.
Nah, jika yang ditebar ialah isu sebagai pola, maka kemungkinan akan ada rentetan peristiwa by design. Tak peduli timbul pro kontra sekalipun. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah âtemaâ atau agenda selaku kelanjutan isu. Silahkan cermati. Kira-kira, agenda/tema apakah yang bakal digulirkan usai isu lonte dan tukang obat ditabur di publik; lantas, skema bagaimana yang akan digelar?
Asymmetric warfare mengajarkan, bahwa sebuah agenda/tema merupakan kelanjutan daripada isu. Agenda tidak berdiri sendiri. Entah sifatnya mempertebal opini yang terbangun di publik melalui isu, atau sebuah âjembatanâ menuju skema (kolonialisme) yang akan ditancap atau digelar.
Contoh peristiwa yang telah berlalu baik di tingkat lokal maupun global adalah sebagai berikut:
1) ISU flu burung, misalnya, AGENDA-nya ternyata daging langka atau daging mahal, sedang SKEMA-nya ialah memperluas impor daging akibat mahalnya harga daging. Nah, di sini â daging mahal atau daging langka merupakan âjembatanâ sebuah ISU menuju SKEMA yang ingin digapai;
2) isu pemimpin tirani dan korupsi di Tunisia, di Mesir dan di Yaman sewaktu Arab Spring melanda Jalur Sutra dahulu, agendanya ternyata gerakan massa yang melengserkan Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir dan seterusnya. Jadi, gerakan massa di sini adalah âjembatanâ antara ISU dan SKEMA. Dalam hal ini, skemanya adalah pelengseran para pemimpin di seputaran negara Jalur Sutra kecuali Syria dan Libya. Kenapa? Di kedua negara tersebut, isu-isu produk Arab Spring dapat dikontra oleh Bashar al Assad dan Moamar Khadafi. Akan tetapi, tatkala derajat isu ditingkatkan oleh asing menjadi pemberontakan sipil. Nah, pada isu perang sipil inilah Khadafi terpancing. Ia tak mampu mengkontra pemberontakan dengan cerdas sehingga berujung bombardir militer oleh NATO berbekal Resolusi PBB Nomor 1973/No Fly Zone. Itu syah karena berbasis resolusi. Libya kini seperti negara tidak bertuan. SDA-nya jadi bancaan banyak negara. Sedangkan Bashar Assad mampu âmengayunâ isu dan agenda yang digulirkan asing. Dan sampai hari ini, Syria masih berdaulat meski secara fisik porak-poranda. Bahkan khabar terakhir, ISIS pun mampu diusirnya dari Syria;
3) bagaimana dengan reformasi 1998 tempo lalu di Jakarta? Ternyata serupa tetapi tak sama dengan Arab Spring di Jalur Sutra. Hampir tidak ada beda. Ada isu, ada agenda dan skema (ITS). Isunya adalah: âKKNâ, misalnya, lalu agendanya: âGerakan Massaâ, dan ujung skema adalah: âPelengseran Orde Baruâ. Bahkan menurut Karen Brooks, penulis Amerika, pola Arab Spring justru meniru pola massa aksi pada Mei 1998 di Jakarta.
Nah, terkait isu tukang obat dan lonte yang menggaduhkan langit (geo) politik Jakarta dan sekeliling. Pertanyaan selidiknya ialah, âKemana isu hendak berlabuh; adakah agenda lanjutan setelah isu berhasil menebalkan serta meluaskan friksi kebencian di antara sesama warga; lantas, dimana kelak skema akan berujung?
âKilas balik sejenak. Bahwa upaya asing membelah NKRI menjadi beberapa negara kecil seperti negara polenesia di Lautan Pasifik sudah terdengar sejak lama. Bahkan sudah berjalan tetapi selalu gagal dan gagal. Bagi publik yang belum memahami, mungkin dikiranya murni konflik lokal yang meluas. Ya. Kasus Sampit, misalnya, atau konflik Ambon, Tolikara, Singkil dan lain-lain. Tak boleh dipungkiri, jenis isu-isu konflik di atas ternyata bermenu sama: âsektarianâ. Sebuah triger yang sengaja mengeksploitasi kebencian akibat SARA (Kebhinekaan yang relatif lestari) dan perbedaan afiliasi politik. Sekali lagi, konflik-konflik di pinggiran NKRI di atas ternyata bermenu sama yakni (isu) sektarian.
Dan selesainya konflik-konflik tadi lebih diakibatkan sinergisitas antaraparat dan pejabat negara (bukan justru membakar situasi), ada respon cepat dan tindak antisipasif dari aparat, serta para tokoh agama, adat dan publik figur menahan diri tidak (celometan) memanaskan situasi. Masing-masing pihak cooling down.
Merujuk topik, apakah isu lonte dan tukang obat itu model isu sebagai metode, atau isu sebagai pola?
Jika yang dimainkan isu sebagai metode, sebentar lagi akan mereda. Lihat saja. Tetapi, seandainya yang dieksploitasi oleh asing itu isu sebagai pola, semoga segenap anak negeri bersikap bijak, jangan malah membakar-bakar situasi.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam ..
Ada kegelisahan menyeruak di ranah geopolitik pada era revolusi industri 4.0 di Indonesia. Pasalnya, doktrin dan konsepsi (geo) strategi: “Pendudukan terhadap satu pulau dianggap sebagai pendudukan seluruh negara,” apakah masih berlaku di pelataran 4.0?
Mengapa begitu, betapa dalam praktik beberapa aplikasi dan/atau e-money asing seperti Alipay, contohnya, atau WeChat, Lazada dan lain-lain kendati secara fisik tidak menduduki teritori, tetapi bukankah secara operasional — mereka sudah mengeksploitasi serta membawa lari uang masyarakat ke luar?
Inilah yang mutlak segera dirumuskan (ulang) lembaga – lembaga kajian dan para think tank demi Kepentingan Nasional RI. Kenapa? Bahwa wajah kolonialisme kini telah berganti dari hingar bingar (power) militer menjadi power ekonomi nan senyap tanpa letusan peluru.
Beberapa laman baik luar maupun dalam negeri seperti vice.com, middleeateye.net, sindonews, detikcom dan lain-lain, misalnya, memuat berita bahwa militer AS mengambil – alih aplikasi MuslimPro dan membeli data lokasi 100 juta umat Islam di seluruh dunia. Ini terkuak melalui laman Motherboard.
Diskusi di NR memperdalam poin, meskipun pasar (market) MuslimPro cukup besar di Indonesia, tetapi aplikasi ini buatan Singapura. Sekali lagi, inilah yang digelisahkan geopolitik di atas, selain market Indonesia telah diambil oleh asing —ini sudah sering terjadi— bahkan dimanfaatkan intelijen asing untuk mapping bangsa ini.
Mohon maaf, hal ini terjadi akibat kelalaian, kebodohan atau ujud pengkhianatan?
Ada kegelisahan menyeruak di ranah geopolitik pada era revolusi industri 4.0 di Indonesia. Pasalnya, doktrin dan konsepsi (geo) strategi: “Pendudukan terhadap satu pulau dianggap sebagai pendudukan seluruh negara,” apakah masih berlaku di pelataran 4.0?
Mengapa begitu, betapa dalam praktik beberapa aplikasi dan/atau e-money asing seperti Alipay, contohnya, atau WeChat, Lazada dan lain-lain kendati secara fisik tidak menduduki teritori, tetapi bukankah secara operasional — mereka sudah mengeksploitasi serta membawa lari uang masyarakat ke luar?
Inilah yang mutlak segera dirumuskan (ulang) lembaga-lembaga kajian dan para think tank demi Kepentingan Nasional RI. Kenapa? Bahwa wajah kolonialisme kini telah berganti dari hingar bingar (power) militer menjadi power ekonomi nan senyap tanpa letusan peluru.
Beberapa laman baik luar maupun dalam negeri seperti vice.com, middleeateye.net, sindonews, detikcom dan lain-lain, misalnya, memuat berita bahwa militer AS mengambil-alih aplikasi MuslimPro dan membeli data lokasi 100 juta umat Islam di seluruh dunia. Ini terkuak melalui laman Motherboard.
Diskusi di NR memperdalam poin, meskipun pasar (market) MuslimPro cukup besar di Indonesia, tetapi aplikasi ini buatan Singapura. Sekali lagi, inilah yang digelisahkan geopolitik di atas, selain market Indonesia telah diambil oleh asing —ini sudah sering terjadi— bahkan dimanfaatkan intelijen asing untuk mapping bangsa ini.
Mohon maaf, hal ini terjadi akibat kelalaian, kebodohan atau ujud pengkhianatan?
Kompleksitas skenario (geo) politik di Jakarta atas kembalinya HRS, agak sulit digambarkan. Ruwet bin njlimet. Ada skenario invisible hands global, misalnya, atau terdapat geliat proxy agents di tingkat lokal, peperangan para buzzer, ataupun ada kekuatan finansial yang mulai sekarat dan seterusnya. Pokoknya gaduh dan kompleks.
Publik seyogianya beruntung karena bisa belajar geopolitik tanpa perlu membaca banyak literatur, langsung praktik dan merasakan. Tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat, itu bagi yang dapat merasakan. Yang tak dapat merasakan, larut dalam gendang kebencian yang ditabuh!
Prolognya dimulai dari pembelahan (sosial) bangsa sepenggal demi sepenggal. Lembut seolah-olah hal wajar. Tetapi jika diperhatikan secara jeli, ada yang janggal. Kejanggalan itu boleh dicermati melalui local wisdom: “wong wani kudu duwe bunci, wong kendel kudu punya piandel“. Orang berani harus memiliki “modal” serta sesuatu diandalkan. Paham? Ia sudah berserak dimana-mana.
Sedihnya proses pembelahan itu justru diprakarsai para tokoh dan elit politik. Bahkan terkadang mereka rela menjadi buzzer, turut menggonggong kepentingan si “tuan”. Retorikanya, “Mereka —para elit— sebenarnya tahu, atau pura-pura tidak tahu atas persoalan negeri ini sebab telah menjadi bagian dari pembelahan itu sendiri?”
Tampaknya, sebagian anak bangsa ini tengah menabur. Entah apa ditaburnya. Maka siapa menabur bakal menuai ..
Walikota D. C. mengizinkan ANTIFA dan BLM untuk menyerang dan meneror pendukung trump di jalanan DC malam ini ..
Di negeri yang konon sumber dan mbahnya demokrasi (Barat), ternyata nilai-nilai demokrasi tak bisa memberi teladan yang baik kepada publik global. Mengapa kita mengekor mereka; kenapa tidak kembali saja kepada ajaran leluhur (musyawarah untuk mufakat) yang soft dan elegan?
Yang dirasakan sejak menggunakan one man one vote di negeri kita, selain demokrasi itu mahal, ada modus adu domba di dalamnya, merusak mental, juga menghancurkan rasa kesatuan dan persatuan bangsa dari sisi dalam!
Koneksi antara Amerika (AS) dengan Cina di masa kepemimpinan Donald Trump memiliki ikatan sangat rapuh lagi buruk. Hal ini ditandai berbagai friksi baik dalam hal perdagangan âtrade warâ misalnya, atau kompetisi teknologi (IT), persaingan (perebutan) hegemoni di pelbagai belahan dunia khususnya di Asia Pasifik, atau kisruh di Hongkong, termasuk (peperangan narasi) soal Corona-19 pada awal pandemi yang berupa tebar narasi saling tuding siapa pembuat serta penyebar virus.
Pertanyaannya sekarang, apakah hal-hal di atas akan diperbaiki oleh Joe Biden atau justru dipertebal?
Melambung sejenak. Dengan mencermati trend selama ini, geopolitik menaksir bahwa di era Biden kelak, isu-isu semacam terorisme, radikalisme dan lain-lain yang bermenu sektarian bakal turun drastis di satu sisi, sebaliknya paket DHL (Demokrasi, HAM, Lingkungan) akan menguat di permukaan sebagai isu aktual khususnya tentang kesetaraan gender (LGBT), lingkungan, dan isu hak-hak asasi/kemerdekaan pada sisi lain. Artinya, bila di era Biden terjadi peledakan bom, misalnya, dimungkinkan bukan ulah jaringan teroris lazimnya, namun berasal dari kelompok kepentingan lain yang sifatnya sporadis serta bermotif politik praktis. Mereka cuma menumpang di modus saja. Atau, bagi kelompok separatis yang ingin pisah diri dari negara induk âdi era Bidenâ akan menguat serta menemukan momentum. Ini perlu diwaspadai bersama, terutama negara-negara yang memiliki persoalan internal terkait what lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan.
Kilas balik sedikit. Bahwa lajunya power concept Cina di lentera geopolitik terutama power ekonomi dan militer, sebenarnya selain disebabkan para pemodal AS âglobalis cabalâ banyak menanam kapitalnya di Cina, juga karena faktor âpembiaranâ di masa Obama.
Tak boleh dipungkiri, pola kebijakan Partai Demokrat melalui presiden pilihannya cenderung berorientasi soft power/smart power ketimbang hard power (kekuatan militer). Kenapa? Sebab Partai Demokrat di-back up oleh non-state actors berbasis kartel atau korporasi yang bergerak pada industri asuransi, inovasi, asuransi, IT, kesehatan dan/atau farmasi. Ini berbeda dengan Partai Republik yang banyak didukung industri berat bidang pertahanan, properti, SDA, judi dan lainnya.
Intinya begini, bahwa dalam dogma Partai Republik dengan segala modusnya berupaya meyakinkan publik bahwa dunia harus membutuhkan AS sebagai âpolisi duniaâ, itu yang ingin digapai oleh Partai Republik; sedang doktrin smart power Partai Demokrat menyikapi hubungan antarnegara justru sebagai âmitra kerjaâ.
Gilirannya (di era Obama), ketika Cina membangun pangkalan militer di Kepulauan Sprartly, hampir tidak ada upaya pencegahan secara signifikan oleh AS, padahal waktu itu prioritas kebijakan Obama adalah menggeser 60% armada lautnya ke Asia Pasifik. Apakah Obama lemah atau takut? Tidak. Itu cuma salah satu ujud pembiaran atas nama mitra kerja sebagaimana sekilas diurai tadi.
Retorikanya adalah, apakah pembiaran di era Obama karena faktor âtimbal balikâ dibukanya kran investasi bagi kaum globalis oleh Cina yang notabene adalah pendukung Partai Demokrat?
Pantas saja di era Trump dengan visi Make America Great Again cq American First dirasakan merugikan kaum globalis dimana kapital mereka yang ditanam di luar, disuruh balik kembali. American First merupakan âbaju nasionalismeâ ala AS pada satu sisi, namun malah menimbulkan friksi internal di kalangan non-state actors di sisi lain. Itu sudah jamak di dunia (geo) politik.
Menurut ramalan, atmosfer geopolitik pada era Biden bakal menurun tensinya ketimbang di era Trump, khususnya hubungan Cina-AS akan kembali menggeliat. Namun namanya juga ramalan, boleh percaya â boleh tidak. Masih perlu dikaji dan diuji. Sekurang â kurangnya, ada beberapa clue yang layak dicermati untuk melihat fluktuasi hubungan kedua adidaya, antara lain sebagai berikut:
1) apakah skenario trade war dengan segala modusnya bakal tutup buku, atau terus dilanjutkan;
2) apakah Huawei diperbolehkan kembali masuk ke Paman Sam;
3) apakah Hongkong akan âlepasâ dan benar-benar dalam kendali Cina secara penuh?
Menaksir langkah Amerika di era Biden tidak sesederhana itu, memang, masih banyak clue lain yang harus di-breakdown. Akan tetapi, melihat fluktuatif hubungan keduanya dalam jangka pendek, kiranya melalui tiga clue tadi dirasa cukup serta bisa dijadikan petunjuk awal.
Sebagai catatan khusus, yang mutlak dicermati justru ketika kelak muncul apa yang disebut dengan istilah âpersenyawaan hegemoniâ antara kedua adidaya dalam menyasar sebuah target (negara) tertentu. Hal ini akan menimbulkan situasi super gaduh, oleh sebab negeri target bukan cuma medan tempur (proxy war), tetapi menjadi negeri âbancaanâ keduanya.
Nah, jika skenario bancaan yang muncul via persenyawaan hegemoni maka publik bakal gemuruh dengan kegaduhan yang sifatnya residu alias ecek-ecek di hilir persoalan bangsa, miskin substansi, cuma deception â juga kegaduhan tersebut tak menyentuh kepentingan nasional si calon (negara) korban.
Katanya sich, itu jurus kuno: âMengecoh langit menyeberangi lautan!â
Larut malam kemarin, saya sedikit terganggu bunyi pesan di inbox dari kawan nun jauh di sana. Salah sendiri sich, lupa matiin HP. Begini isi SMS-nya:
“Bro, kenapa kepulangan HRS tepat pada Hari Pahlawan, 10 November, dan pas pula dengan kemenangan Biden meski belum secara resmi?”
Biyuh! Dipikir dukun ‘ta? Malam – malam lagi. Aku lanjut menarik selimut. HP kumatikan. Lalok. Nah, besok paginya sembari ngupi-ngupi kecil kujawab SMS-nya secara singkat: “Yah, kebetulan kali ..”
“Haaiii? Lautan penjemput segitu banyaknya, mosok kebetulan? Tidak ada kebetulan di muka bumi, bro! Sedang selembar daun jatuh pun sudah tertulis di sana!” Kata kawan nun jauh di sana.
Busyet dech! Pagi-pagi sudah diceramahin ..
Dia SMS lagi, “Dari perspektif geopolitik, gimana? Dari sisi intelijen, seperti apa? Terus, kira-kira apa kelanjutan episode usai ketibaan HRS di tanah air?”
Biyuh, biyuuuh! Mateng aku, rek! Cerewetnya minta ampun ..
“Begini, bro!” Jawabku via SMS, “Masalah kedatangan HRS, atau soal kekalahan Trump dll tak perlu dikaji dari perspektif intelijen atau geopolitik. Ngawang. Gak nginjak bumi, sebab datanya berada di dark web. Dikira teori konspirasi. Ngaji aja ya? Lebih simpel, tetapi mengena”.
“Ngaji? Lewat pengajian, maksudnya? Boleh, boleh ..” Ia agak ragu tampaknya.
Kali ini SMS-nya kurespon cepat, “Lupa kamu ya? Seandainya tujuh lautan dijadikan tinta, tidak bakal habis menulis tafsir dan makna kehidupan ..” Saya mengutip hadist.
Agak jeda sejenak. Mungkin dia lagi mikir. Entah mikir apa.
“Gitu ya?” Ia SMS lagi, “Tolong sampeyan njlentreh ya. Ojo dowo – dowo. Singkat aja. Biar gak penasaran atas rentetan peristiwa pada 10 November tahun ini baik di tingkat lokal maupun global. Kok dahsyat gitu!”
Oke, aku pun mulai mengetik di inbox menjawab pertanyaan kawan.
Begini. 10 November itu tanggal dalam hitungan Masehi, namun secara Hijriyah jatuhnya 24 Rabiul Awal. Ingat ya, bulan Rabiul Awal. Dan bulan itu, wong Jowo biasa menyebut sebagai bulan Mulud atau istilahnya Mulud’an. Lantas, ada apa dengan Rabiul Awal atau bulan Mulud?
Dalam Islam, Rabiul Awal itu bulan kelahiran nabi. Nabi Muhamad SAW lahir pada bulan itu, lalu dalam sejarah diberi tanda “Tahun Gajah”. Mengapa? Sebab kala itu, kelahiran Rasul bersamaan ada serangan tentara gajah pimpinan Abrahah ke Mekkah.
Secara filosofi, di bulan itu ada suatu peristiwa (besar) atau semacam pergantian masa, serta diberi “tanda” murkanya Tuhan kepada manusia. Nah, tanda itu berupa penyakit, misalnya, atau wabah dst. Makanya, dalam kepercayaan (leluhur) Jawa dulu, jika muncul wabah alias pagebluk dianggap bakal terjadi perubahan besar di dunia. Entah apa ujudnya.
Mbuh. Kita diberi pendengaran, dikasih penglihatan dan hati oleh Tuhan sebagai penyaksi perubahan dimaksud. Lebih jauh lagi, wabah itu sendiri sesungguhnya hanya ujian-Nya dengan maksud mengingatkan manusia bahwa: “Tuhan itu Ada”.
Begitulah poin inti atau hakiki peristiwa pada bulan Rabiul Awal, yang secara Masehi ya tanggal 10 November, Hari Pahlawan, seperti yang kau tanyakan itu, bro ..
Usai kirim SMS. Eh, tampaknya kawan gak sabar SMS-an, ia langsung telpon. Tak angkat.
“Hallo, lantas apa kaitan antara wabah, peristiwa besar/pergantian masa dengan TUHAN ITU ADA di bulan Rabiul Awal?” Kawan nyerocos di kejauhan.
“Hahaha ..!” Saya ketawa melihat rasa ingin tahunya.
“Gini, bro! Adanya peristiwa besar di Rabiul Awal itu sudah qodrat dan irodat-Nya. Jangan didiskusikan lagi, misalnya, kelahiran nabi, atau serangan tentara gajah.
Sejarah berulang dengan pola yang sama hanya aktor, waktu dan kemasan berbeda. History repeats itself. Buktinya mana? Lho, tanggal 10 Nopember 1945 tempo doeloe juga terjadi peristiwa super dahsyat. Belanda yang diback up sekutu mau balik njajah Indonesia ternyata balik pulang, tak mampu mengalahkan arek-arek Suroboyo yang berbekal senjata pampasan dari Jepang. Bayangkan, pemenang Perang Dunia II, lho? Malah dua jenderalnya tewas di Suroboyo. Dan itu terjadi pada bulan November alias Rabiul Awal. Jelas, yo?