Masih ingat berita tentang menghilangnya Jack Ma (JM) beberapa waktu lalu? Kendati kini ia kembali tampil ke publik, namun selubung tabir mengapa JM ‘menghilang’ beberapa waktu — hingga kini masih gelap. Publik cuma bisa menduga – duga. Tetapi, narasi yang mendekati A1 ialah tatkala JM hendak meng-IPO-kan saham ANT-nya di Wall Street, New York, namun satu jam sebelum IPO dieksekusi, selain Xi Jinping —Presiden Cina— membatalkan acara tersebut, juga JM pun ‘lenyap’ untuk beberapa waktu. Entah kemana (baca: Kemana Jack Ma Menghilang).
Muncul asumsi kuat —bahwa melalui ANT— JM telah memiliki data hampir 80-an percent penduduk Cina. Ketika ia hendak meng-go public-kan ANT ke pasar modal, dari perspektif geopolitik — tindakan JM ibarat menjual kedaulatan negara. Seketika Xi bertindak cepat, sekali lagi — hanya dalam tempo satu jam sebelum ritual di Wall Street, JM pun ‘dieksekusi’ oleh Cina. Akhirnya, ritual IPO bisa dibatalkan oleh Xi dan JM sempat tidak ada khabar pasca pembatalan dimaksud.
Dan nasib JM selanjutnya, selain ia didenda 40 triliun atas tindakannya, juga perusahaan Alibaba dan ANT pun kini dipecah menjadi perusahan kecil-kecil, bahkan khabarnya, beberapa perusahaan yang dibangun oleh JM pun di-“BUMN”-kan oleh Cina.
Pelajaran yang dapat dipetik atas kasus JM ialah, bahwa kebocoran suatu data (kependudukan) bagi sebuah bangsa niscaya akan berimplikasi terhadap kedaulatan negara yang bersangkutan.
Bahwa di era revolusi 4.0, data kependudukan merupakan ujud dari kedaulatan negara. Ketika data tersebut jatuh ke tangan asing, maka sesungguhnya kedaulatannya telah tergerus.
Dan beberapa hari ini, publik kembali gaduh ketika data kependudukan bocor ke pihak luar. Itu hal logis. Reaksi alamiah karena kedaulatannya bakal terusik akibat data kependudukan jatuh ke pihak yang tak berhak (asing).
Dalam diskusi kecil di WAG NR terkait kebocoran data kependudukan 279 juta warga negara Indonesia, ada beberapa pointers penting yang mutlak diwaspadai bersama, antara lain sebagai berikut:
Pola penyebaran usia akan terlihat oleh pihak luar/lawan;
Usia produktif dan nonproduktif dapat diketahui;
Lokasi dan tempat tinggal sebagian warga bisa tergambar;
Siapa ASN, dimana militer, polisi, dan/atau aparat lain bertempat tinggal dapat dipetakan secara jelas;
Apalagi jika terkait data kesehatan justru lebih riskan lagi. Mengapa? Karena setiap ras memiliki struktur genom masing – masing. Di setiap genom ada keunggulan dan kelemahan. Jika data kesehatan ini bocor ke asing maka potensi ancaman memang terbuka lebar karena pihak lawan mengetahui kelemahan dari ras yang akan diserang. Itu garis besarnya;
Dan lain-lain.
Dari kebocoran data di atas, setidak-tidaknya pola pertahanan (dan keamanan) negara sudah dapat diakses oleh pihak lawan/musuh secara mudah. Dan kelak, bila pihak musuh mau melumpuhkan republik ini secara asimetris, niscaya bakal berjalan efektif dan tepat sasaran. Kenapa demikian, sebab target-target yang diinginkan, misalnya, asing ingin melumpuhkan aparatnya terlebih dulu, atau melumpuhkan usia produktif lewat narkoba, atau mengeksploitas kelemahan dari sisi genom dan seterusnya maka data sudah dalam genggaman. Pihak lawan tinggal pencet atau eksekusi. Inilah hakikat perang asimetris (nirmiliter) di muka bumi. Tanpa letusan peluru, sebuah negara bisa dilumpuhkan.
Di era 4.0 kini, secara geopolitik — data kependudukan merupakan unsur geoekonomi yang tidak kalah penting seperti halnya pangan, emas, minyak dan gas bumi. Itulah yang diincar oleh kepentingan (kolonialisme) asing dimanapun. Dan inilah yang kini tengah berproses secara terstruktur, masive dan sistematis di republik tercinta ini, sedang mayoritas anak bangsa menilai biasa-biasa saja, semua dianggap baik-baik saja.
Retorika gelisah pun mencuat, “Apa khabar RUU Siber Indonesia, dimanakah kamu berada?”
Menurut geopolitik, batas-batas ruang hidup bersifat tidak tetap, oleh karena mengikuti kebutuhan bangsa yang memiliki ruang hidup. Teori ruang (living space) atau lebensraum sebagai inti geopolitik menjelaskan bagaimana bangsa-bangsa di dunia mencoba tumbuh dan berkembang dalam upaya mempertahankan kehidupannya. Sebab, kata Frederich Ratzel (1844-1904), hanya bangsa unggul yang dapat bertahan hidup dan langgeng serta membenarkan (melegitimasi) hukum ekspansi.
Konsepsi ruang dalam pemikiran Barat, melihat negara sebagai suatu organisme hidup. Berbeda dengan bangsa Indonesia yang melihat manusia, negara dan ruang hidup sebagai “anugerah Tuhan” yang harus diterima (nrimo ing pandum) serta disyukuri sebagai sumber hidup dan kehidupan.
Jadi, sifat dan karakter geopolitik ala Barat dengan geopolitik Indonesia sangat berbeda. Kesamaannya mungkin hanya dalam hal penyikapan atas bertambah-berkurangnya ruang oleh berbagai sebab senantiasa dikaitkan kehormatan dan kedaulatan negara.
Banyak ajaran geopolitik lain seperti teori Karl Haushofer (1869-1946), misalnya, atau Rudolph Kjellen (1864-1922), ataupun Sir Halfor Mackinder (1861-1947), Nicholas J. Spykman (1893 – 1943) dan seterusnya dimana poin intinya hampir sama, yakni:
“Bila sebuah bangsa ingin bertahan hidup mutlak harus memanfaatkan ruang (hidup) dalam rangka menghadapi kekuatan global”.
Jika tidak, maka ia bisa punah. Bayangkan saja, sekelas superpower Uni Soviet, contohnya, atau Turki Ottoman pada masanya pun bisa runtuh berkeping-keping karena tak mampu mengendalikan ruang hidupnya.
Geopolitik adalah science of the state, kata Haushofer, ilmu negara yang mencakup aspek politik, geografi, ekonomi, antropologi, sejarah, hukum dan lain-lain. Nah, bangsa ini tidak menganut teori manapun, tetapi menentukan ruang hidupnya sendiri yaitu pulau-pulau di antara dua samudra dan dua benua yang disebut Tanah Air Indonesia dari Sabang sampai Merauke — dari Miangas hingga Rote.
Geopolitik yang dikembangkan para pemikir Barat tentang hubungan antara manusia, negara dan ruang hidup cenderung menekankan negara sebagai organisme hidup (entitas biologis) yang lahir, tumbuh, berkembang, menyusut dan mati. Dalam praktik, perilaku geopolitik (Barat) cenderung ekspansif.
Konsep geopolitik ala Barat tersebut memicu (kontra) pemikiran Bung Karno (BK), bahwa setiap manusia tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggalnya, atau rakyat tidak dapat dipisahkan dari bumi tempat mereka berpijak untuk menjadikan suatu bangsa menjadi besar. Maka dalam geopolitik, Indonesia itu bukan sekedar ‘tanah air’ belaka, tetapi ‘tumpah darah’. Sekali lagi, tumpah darah. Apakah tumpah darah itu?
Adalah tanah, wilayah, atau bumi dimana segenap anak bangsa dilahirkan, tumbuh berkembang, tempat (bekerja) menyambung nyawa, dan kelak tempat menutup mata kembali ke haribaan Ilahi. Oleh karena itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Dalam konsep BK, ruang bukan sekedar objek tetapi subjek.
Dengan demikian, konsep geopolitik Indonesia sangat berbeda dengan konsepsi Barat yang memandang negara sebagai organisme. Hanya objek semata.
Menyikapi narasi tumpah darah di atas, maka salah satu unsur penting Geopolitik Indonesia versi BK ialah:
“Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya, tidak dapat dipisahkan”.
Inilah dasar dari konsep defensif aktif yang dianut pada sistem pertahanan kita. Dan tidak dapat dipungkiri, (strategi) geopolitik ini merupakan ajaran kontra geopolitik ala BK guna mengantisipasi pola ekspansif teori ruang ala Barat.
Ada nasehat simpel Panglima Soedirman tetapi dahsyat bila diimplementasikan secara murni dan konsekuen, yakni:
“Pertahankan rumah serta halaman pekarangan kita sekalian” (7 Juni 1946).
Kini membahas dimensi-dimensi dalam geopolitik.
Ya. Secara universal, ada empat dimensi dalam geopolitik, antara lain:
Dimensi (teori) ruang. Bila ruang dikaitkan dengan power militer, maka ketika ruang diperluas — ada yang diuntungkan dan dirugikan. Apabila ruang sudah tidak memiliki nilai strategis, maka akan dicampakkan. Selain ruang dapat berujud fisik geografi, contohnya, ia juga bisa berupa non-fisik seperti ruang pengaruh (sphere of influence), rasa persatuan dan kesatuan, rasa aman dan seterusnya. Bertambah atau berkurang ruang suatu negara karena berbagai sebab, selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara;
Dimensi frontier. Keterangan singkatnya adalah, sejauhmana kepentingan nasional terjamin keterwujudan dan pemenuhannya. Mengapa begitu, sebab frontier merupakan batas (imajiner) pengaruh asing dari seberang boundary terhadap rakyat di suatu negara. Biasanya diawali dari pengaruh budaya dan ekonomi. Jika tidak segera ditangani bisa berubah jadi pengaruh politik yang berujung disintegrasi;
Dimensi politik kekuatan. Bahwa negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya atau dalam meraih tujuan dan cita-cita bangsanya berbasis kekuatan politik, ekonomi dan kekuatan militer. Ketiganya disebut dengan istilah: “power concept“. Kekuatan mana sebagai prioritas, atau power apa didepan dan seterusnya tergantung kebijakan dan strategi rezim —seyogianya— kebijakan tersebut berbasis (mapping) geopolitik, contohnya, pemetaan sebagai negara agraris, tetapi kok impor kedelai serta cabe-cabean. Mapping sebagai negeri kelautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, namun kok justru impor garam dan ikan-ikanan. Itu ironi geopolitik, ini paradoks geoekonomi;
Dimensi keamanan negara dan bangsa. Untuk memperluas ruang, dibentuklah daerah penyangga yang dapat ditukar dengan waktu dalam menghadapi ancaman fisik dari luar. Ruang bisa diartikan secara riil (geografi) dan boleh juga diartikan secara semu dari aspek keamanan, yakni semangat persatuan dan kesatuan yang dapat menghambat atau memperlambat datangnya ancaman, sehingga seakan-akan dapat dipertukarkan dengan waktu. Sebagai catatan, negara kecil seperti Singapura misalnya, ia tidak bisa mengamalkan dimensi ini.
Tak boleh dipungkiri, hakiki Israel hanyalah sebuah bangsa — bukan negara. Ketika memproklamirkan diri tahun 1948, ia layak disebut negara imigran atau negara pengungsi. Maka ibarat menumpang hidup di tanah yang bukan miliknya, kelak bakal terusir dari tanah yang diduduki.
Titik mula ialah janji Menlu Inggris James Balfour bagi Yahudi untuk sebuah “tanah air” di Palestina kepada Zionis Internasional via tokohnya Dr. Chaim Weizmenn. Hal itu dilakukan karena jasa-jasa Zionis membuat bahan peluru (cordite) hingga Britania Raya menang perang. Lalu diterbitkan Deklarasi Balfour 1917 oleh Inggris yang intinya menjanjikan “negara” bagi Yahudi.
Budaya, Falsafah dan Dogma Yahudi
Aliyah merupakan budaya Yahudi yang penting karena sebagai dasar konsep Zionisme. Aliyah itu bahasa Ibrani. Artinya naik atau terus keatas. Ia ditempatkan dalam aturan (UU) Kepulangan Yahudi ke Israel yang mengizinkan setiap orang Yahudi memperoleh hak-hak hukum berimigrasi, menetap dan memperoleh kewarga-negaraan secara otomatis. Banyak yang mengatakan bahwa aliyah merupakan konsep dasar kepulangan Yahudi ke “tanah perjanjian”.
Falsafah hidup Isarel ialah parasit. Dimana bumi dipijak maka harus mati bersama yang ditumpangi. Negara yang dihinggapi secara perlahan bakal binasa. Itulah ciri Yahudi dimanapun, selalu membuat prahara bagi lingkungan, bahkan matinya pun mengajak bersama-sama. Hebatnya, ia mampu mengelabuhi warga empunya tanah sehingga si empu tak menyadari bahwa “ambruk”-nya suatu negara akibat tindak-tanduknya.
Dogma yang ditanamkan kepada warganya ialah bangsa paling mulia di muka bumi. Ras pilihan yang berasal dari jiwa Tuhan. Oleh sebab itu, tatkala dahulu Nazi memburu dan membantai Yahudi (holocaust), maka Adolf Hitler mematahkan teori dan dogmanya.
Berbekal budaya, falsafah dan dogma itulah menjadi pembenaran atas segala tindak-tanduk. Kecerdikan (dan kelicikan) senantiasa mengiringi langkah agar tuan sang pemilik tanah tidak bisa melawan.
Akan tetapi, tampaknya ada “duri dalam daging” pada gerakan Zionisme Internasional, justru berasal dari kelompok Yahudi Neturei Karta (ortodoks) yang berpusat di AS. Ortodoks menyebut bahwa Talmud sebagai kitab iblis telah mencemari Taurat yang diturunkan Tuhan kepada Musa.
Kelompok ini meyakini —ajaran Yudaisme— bahwa menjadi takdir kaumnya tidak memiliki negara. Ia tidak setuju Israel diproklamirkan. Zionis dianggap telah menodai Yudaisme dan menunggangi demi ambisi politik. Dalam ajaran Yudaisme tak mengenal Talmud dan Israel, Kata sang Rabbi Yisroil Dovid Weiss dari Kelompok Neture Karta. Bahwa antara kedua isme, kendati sama-sama Yahudi ternyata berbeda dalam banyak hal.
Pertanyaan retorika, apakah itu cuma kontra guna memancing opini dan loyalitas publik terhadap Yahudi, ataukah untuk akselerasi perjuangan Zionisme? Biarlah waktu menjawab.
Terkait parasitisme Yahudi, negara atau wilayah yang dihinggapi hanya memperoleh hal yang “semu” dan akan mati secara perlahan.
Ada dua contoh besar sebagai rujukan guna membuktikan bahwa Yahudi (Israel) adalah bangsa parasit dunia, antara lain:
(1) jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah atau Turki Ottoman;
(2) runtuhnya Uni Soviet.
Ya. Hancurnya keemasan Islam yang dinahkodai oleh Turki Ottoman atau Kekhilafahan Utsmaniyah (1299-1923) akibat isu nasionalisme dan (separatisme) yang merebak. Hal ini disebabkan luasnya wilayah Utsmaniyah yang meliputi beberapa negara, bahkan lintas benua. Maka berkembangnya paham nasionalisme justru merupakan embrio separatis yang hendak memisahkan diri dari pusat.
Sekulerisme pun dihembuskan oleh Barat melalui putra-putri Turki Ottoman guna mengobrak-abrik dan menyerang konsep pemikiran Islam, juga gerakan misionaris merupakan hal tak terpisah dari tujuan imperialis Barat menghancurkan Turki Ottoman. Ia menabur perselisihan antar umat Islam dan umat agama lain. Dengan tata cara itu maka terbuka jalan bagi kekuatan luar (Barat) untuk intervensi ke domain internal Utsmaniyah berdalih keamanan. Itulah pola-pola yang dimainkan.
Terdapat dua faktor internal yang membuat Kekaisaran Turki lemah, antara lain:
Pertama, buruknya pemahaman tentang Islam;
Kedua, salah dalam penerapan ajaran Islam.
Tak dapat dipungkiri. Kedua faktor tersebut semakin memudahkan penitrasi nilai-nilai luar yang bertujuan meruntuhkan Turki Ottoman. Sekularisme yang “diciptakan” sebagai ajaran global berbasis modernisasi — dapat diterima baik sebelum, sesaat dan terutama pasca jatuhnya Turki Ottoman, bahkan hingga kini.
Gilirannya, naiknya Mustafa Kemal Pasha (Ataturk) menjadi Presiden I Turki Modern menandai berakhirnya sejarah keemasan Islam di muka bumi.
Singkat cerita, bahwa jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah di Turki selain kedua faktor internal tadi, juga karena masuknya paham sekulerisme di masyarakat melalui kedok nasionalisme, modernisasi dan seterusnya.
Di bawah komando Mustafa Kemal Ataturk yang sejak muda dididik (dikader) militer oleh Barat di Selanik dan Manastir, Yunani, dimana kedua kota tersebut merupakan pusat nasionalisme anti-Turki.
Dalam konteks sekulerisme, Mustafa merupakan pendiri Republik Turki Modern, bahkan disebut sebagai Bapak Sekuler Turki. Akan tetapi dalam sejarah Islam, ia dianggap penghianat, karena berkolaborasi dengan asing meruntuhkan kejayaan Utsmaniyah.
Runtuhnya Uni Soviet
Tahun 1991-an Uni Soviet bertekuk-lutut atas hegemoni Amerika Serikat (AS) musuh utama dalam Perang Dingin. Demokratisasi, liberalisme serta keterbukaan yang jelas-jelas merupakan ‘bagian dari methode’ AS dan sekutu guna menghancurkan musuh-musuh kapitalis dari sisi internal, mengapa justru digunakan rezim komunis (atas nama perubahan) mengendalikan negara yang berakar sistem sosialis sejak dulu? Lagi-lagi, api nasionalisme ditiupkan di tengah krisis ekonomi dan goncangan politik Uni Soviet.
Perubahan yang dicanangkan Mikhail Gorbachev melalui glasnost (keterbukaan) dan perestroika (demokratisasi) awalnya bertujuan merampingkan sistem komunis dan merangsang ekonomi agar keluar dari krisis, tetapi langkah tersebut justru blunder. Malah menjadi penyebab utama pecahnya Uni Soviet.
Akhirnya keruntuhan imperium komunis menjadi beberapa negara merdeka merupakan tanda berakhirnya Perang Dingin antara kapitalis versus komunis – antara Blok Barat dan Timur. Ya, Uni Soviet kini tinggal sejarah masa lalu. Di mata Barat (AS dan sekutu), Gorbachev merupakan reformis yang patut diacungi jempol – diberi nobel penghargaan. Tetapi dari aspek pandang fundamentalis komunis, Gorbachev tidak ubahnya penghianat. Ia menjual martabat bangsa kepada kekuatan-kekuatan asing, musuh negaranya.
Ilustrasi diatas mungkin telah jelas, bahwa keruntuhan Turki Ottoman dan Uni Soviet disebabkan masuknya paham asing (Barat) mengatas-namakan perubahan, misalnya: nasionalisme, keterbukaan, reformasi, demokratisasi dan seterusnya berkedok ajaran (global wisdom) modernisasi.
Ya, kaum Yahudi meskipun minoritas namun pengaruhnya sangat besar di dunia. Pengaruh itu, disebabkan mereka memiliki interkoneksitas jaringan dan menguasai berbagai media. Hampir semua “jalur-jalur” menuju kekuasaan di negara-negara (terutama adikuasa) dikuasai. Mereka bekerja secara sinergis. Merajut jaringan di berbagai aspek dengan beragam kedok dan modus.
Isu Global: Propaganda Global?
Adakah disadari dunia bahwa isu hak azasi manusia (HAM) adalah propaganda yang sengaja diglobalkan supaya kaum Yahudi terhindar dari holocaust jilid ke-2 pasca pengusiran oleh Hitler; bukankah setiap agama atau negara manapun, niscaya punya tata cara dalam mengelola hak serta kewajiban warganya?
Sedangkan demokrasi dan liberalisme dihembuskan kencang-kencang agar ia bisa tampil memimpin suatu negara bahkan dunia; bukankah hampir semua bangsa di dunia niscaya memiliki budaya dan mekanisme guna memilih pemimpin masing-masing?
Ada hukum keseimbangan dilanggar. Yang mayoritas harusnya melindungi minoritas, yang minoritas harus tahu diri. Tetapi rasio dunia seperti terlelap oleh ilusi demokrasi, dan hukum keseimbangan dibolak-balik. Minoritas justru ‘mengendalikan’ mayoritas.
Sementara sekulerisasi digemborkan kian-kemari agar ajaran agama (hakiki) atau Tauhid tidak didalami oleh penganutnya. Lalu secara perlahan dibuat supaya umat agama lari kepada modernisasi. Ia putar-balikan kiblat umat agar tercengang dan menghamba kepada teknologi, tujuannya supaya sekulerisme menjadi ajaran (agama) global di jagat ini.
Dengan isu-isu atau stigma global diatas, Yahudi menghancurkan Turki Ottoman dan Uni Soviet melalui “kader-kader”-nya di negara yang dianggap membahayakan kepentingan cita-cita Zinonis. Pola dan tata caranya seolah-olah berbeda tetapi secara hakiki serupa. Hal yang sama niscaya dilakukan pada setiap bangsa dan negara yang ditumpanginya. Ya. Ia memang bangsa parasit.
Pertanyaan menggelitik muncul: “Bagaimana dengan AS?”
Kemungkinan Paman Sam bakal menyusul pasca runtuhnya Uni Soviet era 1991-an. Kenapa demikian, oleh karena sangat dominan dan berperannya American Israeli Public Affairs Committee (AIPAC) sebagai lembaga lobi di Paman Sam merupakan salah satu indikasi kuat. Tunggu saja apa yang bakal terjadi. Sekali lagi, Israel itu memang bangsa parasit di muka bumi.
“Dunia hanya mungkin aman dan damai manakala Israel Zionis dipindahkan ke planet lain,” kata Buya Ahmad Syafii Maarif mengutip Gilad Aztmon.
Membaca keberadaan —konflik berlarut— di Yerusalem dari sisi sejarah, memang terlalu panjang. Namun hal ini harus dipahami walau sepintas. Nah, semoga uraian singkat ini tidak mengurangi substansi. Minimal kilasan kronologis dapat dicerna kendati hanya garis besar saja.
1000 SM: Raja Daud AS menaklukkan Palestina. Wilayahnya mulai dari tepi sungai Nil hingga sungai Efrat di Irak. Inilah mimpi serta cita-cita Israel Raya terkini yang ingin wilayah kekuasaannya seperti zaman (Nabi) Daud AS dulu. Maka, jika pada bendera Israel terdapat dua garis biru, maksudnya adalah Nil dan Efrat plus (Bintang) Daud.
Selanjutnya, ketika Daud AS digantikan oleh Sulaiman AS, masjid al Aqsa pun didirikan di Yerusalem;
900 SM: sepeninggal Sulaiman AS, Israel mengalami perang saudara berlarut sehingga kerajaan terpecah dua: 1) sebelah utara bernama Israel dengan ibukota Samaria; 2) sebelah selatan bernama Yehuda beribukota Yerusalem;
600 SM: Yerusalem ditaklukkan oleh Raja Nebudkadnezar II dari Babylonia, namun pada 500 SM — Cyrus Persia mengalahkan Babylonia, lalu mengijinkan kembali Israel masuk lagi ke Yerusalem;
330 SM: Israel ditaklukkan oleh Alexandder Agung dari Macedonia/Yunani, dan pada 300 SM — Yunani dikalahkan Romawi, maka praktis Palestina dikuasai oleh Romawi dan berkuasa sampai ratusan (600-an) tahun;
600 M: Yerusalem ditaklukkan oleh bangsa Arab atas komando Umar bin Khatab;
1099 M: Yerusalem ditaklukkan oleh tentara salib atas maklumat Paus Urbanus II, dan menguasai Yerusalem sekitar 80-an tahun lebih;
1187 M: Yerusalem ditaklukkan oleh Salahudin al Ayyubi dan bertakhta hampir 100 tahun. Dan hingga 1535 M, Yerusalem diperintah silih berganti oleh Ottoman Turki;
1917 M: Turki Ottoman kalah dalam Perang Dunia (PD) I. Yerusalem dalam kendali Inggris. Menlu Inggris, Arthur James Balfour dalam “Deklarasi Balfour” berjanji kepada Rothschild, pimpinan Zionis, bahwa Inggris akan memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina guna mempercepat berdirinya tanah air bagi Yahudi. Kemudian Liga Bangsa-Bangsa (embrio PBB) memberi mandat ke Inggris untuk menguasai Palestina;
1924 M: Mustafa Kemal Ataturk menilai bahwa kemunduran khilafah akibat Islam. Maka jalan keluarnya —menurut Ataturk— ialah nasionalisme dan sekularisme seperti di Barat. Lantas, ia pun merebut kekuasaan kemudian membubarkan khilafah. Karenanya, tidak ada lagi ikatan antar-umat Islam sedunia bila ada muslim jatuh dalam penderitaan. Kenapa? Karena nasionalisme telah menggantikan solidaritas muslim;
1938 M: Nazi menganggap bahwa pengkhianatan Yahudi Jerman sebagai penyebab kekalahan pada PD-I, karenanya mereka perlu ‘penyelesaian terakhir’. Akibatnya, ratusan ribu Yahudi dikirim ke kamp konsentrasi, atau lari ke luar negeri. Kebanyakan ke AS. Dan usai PD-II, Yahudi mampu memframing isu holocaust karena mereka menguasai media dan kantor berita di dunia;
1944 M: Kondisi Palestina memanas, karena Inggris sengaja membiarkan Yahudi masuk Palestina guna mendorong pribumi Arab keluar dari sana;
1947 M: PBB merekomendasi pemecahan Palestina menjadi dua negara yakni Arab dan Israel;
1948 M: Berdiri negara Israel atas restu Inggris dan AS. Dan aneksasi terhadap wilayah Palestina terus berlangsung sehingga wilayah Israel semakin hari kian meningkat;
1967 M: Perang antara Israel melawan empat koalisi negara Arab dimenangkan oleh Israel, sehingga Dataran Tinggi Golan (Syria) dan Gurun Sinai (Mesir) menjadi milik Israel;
2017 M: ibukota Israel dipindah dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Itulah singkat kronologis tentang seluk beluk konflik antara Israel-Palestina. Penulis menyadari, kekuranglengkapan data dan masih ‘bolong-bolong’. Akan tetapi, ada learning points yang dapat diambil, bahwa dimana ada Israel di suatu tempat, misalnya, selalu saja timbul kekacauan, huru-hara, muncul konflik-konflik dan lain-lain di wilayah tersebut. Mengapa demikian?
Teringat statement Henry Banner, PM Inggris pada masanya (1906):
“Ada sebuah bangsa (Arab/umat muslim) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, bahasa, sejarah dan aspirasi yang sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya.
Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara, maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika).
Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah ‘Organ Asing’ harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian tak kunjung henti. ‘Organ Asing’ itu juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek yang diinginkan” (JW Lotz, 2010).
Nah, merujuk pada learning points yang dipetik dari kronologis singkat tentang keberadaan konflik berlarut di Yerusalem serta mencermati secara seksama statement Henry Bannerman, PM Inggris pada masanya — maka bisa diambil simpulan sementara bahwa ‘Organ Asing’ tersebut tak lain dan tak bukan adalah Israel.
Membaca peperangan antara Palestina versus Israel, selain harus komprehensif mulai dari latar sejarah, misalnya, atau visi misi Israel Raya, ataupun ideologi, dogma dan seterusnya — juga kudu jeli dan jernih. Artinya, pengamat atau seorang analisis mutlak menjauh dulu dari hiruk pikuk sentimen (agama dan ras) yang kerap mendominasi persepsi publik. Pisau telaah pun harus tajam, tepat dan akurat.
Dari perspektif geopolitik misalnya —timbul dugaan— jangan-jangan konflik tersebut cuma test case menjelang Perang Dunia III yang sudah di pekarangan masing-masing adidaya yang berseteru. Dengan kata lain, para adidaya tengah mencoba kecanggihan produksi mesin perangnya.
Perlombaan senjata atas nama security dilemma. Untuk itu, dicarilah medan tempur (war theatre) alias proxy war pada negara-negara yang sedang dirundung konflik entah intrastate (konflik internal dalam negara) maupun interstate, konflik antarnegara.
Konflik Palestina-Israel misalnya, jangan-jangan merupakan by design sekelompok negara produsen mesin perang. Jadi, konflik yang muncul di permukaan merupakan rekayasa dalam rangka uji coba senjata produksi terbaru mereka. Mungkin saja. Israel disuplai senjata oleh AS dan Eropa Barat, misalnya, atau Palestina dipasok dari Cina, Iran dan seterusnya. Namun ini hanya asumsi berbasis pola geopolitik yang sudah-sudah.
Bahkan kemungkinan, konflik internal di Myanmar pun berpola sama, oposisi disuplai senjata oleh AS dan sekutu, sementara junta militer dipasok oleh Cina dan aliansinya. Itulah sekilas pola war theater dalam konstelasi geopolitik global.
Sekali lagi, dalam membaca sebuah konflik kudu jernih, tidak boleh menyeret dan terseret isu sentimen baik ras maupun isu sentimen agama. Kenapa? Geopolitik mengajarkan, bahwa peperangan hanyalah sebuah agenda (geostrategi) belaka. Tak lebih. Oleh karena tujuan akhir perang ialah menguasai dan mencaplok (geo) ekonomi. Entah perolehan geoekonomi berupa penguasaan SDA negara target — ini sudah jamak; atau pembekuan (dan bancaan) rekening sang tokoh yang di luar negeri sebagaimana kasus di Lybia (baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar Bom di www.theglobal-review.com); ataupun laris manis penjualan mesin perang dan lain-lain.
Persoalan semakin kompleks ketika pintu masuk konflik justru dipicu oleh isu sentimen agama sebagaimana peristiwa al-Aqsa di Yerusalem. Itu isu atau pintu yang salah karena justru memunculkan gelombang solidaritas di satu sisi, juga dapat meluaskan konflik-konflik lainnya pada sisi seberang.
Menurut hemat saya, inilah blunder Israel — ia menyentuh hal paling sensitif dalam kehidupan: ‘sentimen agama’. Mengapa begitu, karena sentimen itu hidup serta berkembang di lingkungan umat muslim dan pribumi. Berbeda dengan masyarakat di jajaran negara Barat, isu sentimen tidak tumbuh-berkembang karena rata-rata negaranya sekuler. Agama itu privacy — tidak boleh bergulir di ruang publik.
Dan kerap kali, persepsi publik sangat mudah diaduk-aduk melalui isu agama meskipun peperangan (Israel versus Palestina) sebenarnya bukanlah perang agama, namun meluasnya medan konflik gegara dipicu oleh sentimen agama, sedang tujuannya ialah aneksasi —pengambilan secara paksa— wilayah Palestina oleh Israel.
Selanjutnya tentang war theater di atas memang masih sebatas asumsi. Artinya, bisa benar, bisa juga keliru. Sekurang-kurangnya, bila merujuk asumsi tersebut — konflik antara Israel melawan Palestina di awal 1442 Hijriyah, memunculkan pertanyaan menggelitik: “Pada peperangan beberapa hari tersebut, senjata siapa yang unggul lagi lebih canggih?”
Nah, dari jawaban atas pertanyaan tadi dapat ditelusuri lebih lanjut tentang kemajuan dan kecanggihan teknologi perang para adidaya di balik layar, kendati tidak hitam putih. Kenapa? Karena memenangkan pertempuran belum berarti memenangkan sebuah peperangan.
Tampaknya, isu serangan (polisi) Israel ke Masjid al-Aqsa pada malam ke-27 ramadhan 2021 saat warga muslim Palestina tengah itikaf, menimbulkan berbagai peristiwa yang justru lebih besar.
Adapun peristiwa lain dimaksud antara lain ialah:
Memantik saling serang secara terbuka via roket-roket antara Israel versus Palestina cq Hamas selama beberapa hari. Dan kejadian tersebut menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan kerusakan infrastruktur kedua belah pihak;
Muncul gelombang dukungan lintas agama dan ras terhadap Palestina di pelbagai belahan dunia;
Mulai muncul perubahan lanskap geopolitik di Dunia Arab.
Untuk poin pertama dan kedua tidak perlu analisis secara mendalam karena dapat disaksikan langsung melalui media cetak, elektronik, maupun online dan media sosial, sedang poin ketiga —perubahan lanskap geopolitik— mari kita ulas di bawah ini.
Ya. Bahwa Yordania selama ini cenderung pro-Barat. Bahkan ada yang menyebut Yordan sebagai proxi —boneka— Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, isu al-Aqsa telah membuat Yordan kembali ke “fitrah”. Ya. Yordan kini berpihak ke Palestina. Apa bukti?
Usai serangan Israel ke al-Aqsa, beredar statement terkait peristiwa dimaksud: “Saya umumkan bahwa jika Israel melanjutkan serangan terhadap masjid al-Aqsa, Turki dan Yordan akan terlibat dalam konflik ini,” ujar Erdogan. Luar biasa.
Lebih menarik lagi, Arab Saudi yang selama ini ‘diam’ atas kebrutalan Israel terhadap Palestina, kini mengutuk tindakan Israel di Yerusalem. Raja Salman menegaskan dukungan Arab Saudi ke Palestina.
Itulah perubahan kecil lanskap geopolitik di Dunia Arab pada awal konflik yang dipicu oleh isu al-Aqsa.
Retorikanya adalah, “Apakah perubahan lanskap tadi akan berhenti, menyusut lalu mati; atau, ia terus membesar seperti bola salju?”
Kita lanjutkan ulasan kecil ini.
Tak boleh disangkal, peperangan (“abadi”) antara Israel versus Palestina memang bukan konflik agama meskipun kerap kali (perang meletus) dipicu isu agama sebagaimana kejadian al-Aqsa.
Dari perspektif geopolitik, ekspansi Israel ke Palestina merupakan praktik teori ruang (living space) atau lebensraum yang tengah dijalankan oleh Israel. Itu inti geopolitik. Manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup. Frederich Ratzel merumuskan, hanya bangsa yang unggul yang dapat bertahan hidup serta langgeng dan membenarkan (melegitimasi) hukum ekspansi.
Agaknya Israel mengamalkan teori Ratzel, ia merasa sebagai ras unggul di muka bumi dan membenarkan (hukum) ekspansi ala Ratzel.
Kenapa demikian, telah berulang-kali peperangan meletus antara Palestina melawan Israel, dan sudah berkali pula resolusi DK-PBB —data penulis 2010, ada sekitar 68 resolusi— dilanggar oleh Israel. Uniknya, baik PBB, publik global terutama Dunia Arab selama ini ‘diam-diam’ saja atas pelanggaran tersebut. Entah publik tak peduli, atau karena hebatnya propaganda, lobi dan deception Israel?
Reaksi publik paling sebatas solidaritas lintas agama dan kemanusian dimana dukungan pun akan mereda seiring waktu. Begitu-begitu saja. Tidak ada tindak lanjut serta sanksi riil atas pelanggaran Israel.
Selama ini, tak ada reaksi secara terbuka meskipun sebenarnya ada dukungan secara sembunyi dari beberapa negara di sekitarnya terutama dukungan persenjataan terhadap Palestina; atau, donasi terbuka atas nama kemanusiaan dari berbagai negara dan lain-lain.
Sekali lagi, pertanyaannya: “Apakah cuma begitu-begitu saja?”
Tahukah kalian bagaimana taktik ‘kuda troya’ dan jurus ‘mengecoh langit menyeberangi lautan’ diimplentasikan dalam satu tarikan nafas?
Begini. Di level hilir, publik digaduhkan dengan isu bipang, misalnya, atau isu-isu sentimen lainnya; sementara di hulu — TKA berduyun-duyun ke tanah air secara silent. Retorikanya ialah: “Siapa berani menjamin, jika TKA yang berdatangan bukan tentara lawan?”
Inilah sekilas contoh dari praktik ‘kuda troya’ — yaitu memasukkan pasukan ke negeri target secara nirmiliter. Sehingga pada saatnya kelak — pihak target justru terkaget – kaget. Nah, dalam kondisi seperti itulah urgensi mobilisasi rakyat sangat mendesak.
Teringat nasehat lama Panglima Soedirman: “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (7 Juni 1946).
Sesuai judul catatan kecil ini, ada beberapa asumsi yang telah menjadi kredo global karena tengah berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masive di pelbagai belahan dunia dengan beragam isu, modus dan aneka kedok. Antara lain yaitu:
Pertama: “Melalui Utang”. Kredo ini merujuk pada tesis John Adams beberapa abad silam: “Ada dua cara menaklukkan dan memperbudak sebuah bangsa.
Pertama; dengan pedang, kedua melalui UTANG” (1725-1825). Dan agaknya, wajah kolonialisme lewat penggunaan pedang/militer telah dianggap usang alias masa lalu, ia kini berwajah ekonomi;
Kedua: “Hancurkan Intelijen” baik sebagai fungsi maupun intelijen sebagai institusi. Intelijen dibuat kurang berfungsi bahkan tidak berperan sebagaimana mestinya. Ibarat mata dan telinga, ia menjadi buta dan tuli atas permasalahan yang tengah terjadi terutama persoalan hulu yang melilit bangsanya. Bahkan yang sangat memprihatinkan, kerap kali –tidak setiap kali– justru ia (intelijen) menjadi bagian dari permasalahan itu sendiri;
Ketiga: “Lemahkan Lembaga Riset”. Dengan kata lain, entah institusi riset dan teknologi tersebut dibubarkan, misalnya, atau diberi porsi anggaran kecil, atau ditempatkan orang-orang yang tidak memiliki kompetensi baik di bidang knowledge, skill maupun attitude di bidang riset dan lain-lain.
Dalam diskusi kecil di WAG NR sehabis saur (6/5/21), Pak Widjojo Soejono, senior Jenderal TNI (Purn) menambahkan dua poin selain tiga hal di atas, yaitu 1) cukupi/beseli (suap) kebutuhan lapisan atas secara selektif; 2) publik dijejali dengan opini bahwa Perang Generasi IV itu tak ada.
Memasuki subuh, Pak Prijanto, Mayjen TNI (Purn) mantan Wagub DKI Jakarta menambahkan dua poin lagi agar klop menjadi tujuh. Dua poin tersebut antara lain: 1) penetrasi politik melalui pengrusakan konstitusi untuk pengendalian aturan perundang-undangan di bawahnya; 2) merusak paradigma bangsa melalui penjungkirbalikan nilai-nilai falsafah, budaya dan sejarah bangsa.
Dengan demikian, simpulan atas diskusi kecil di forum NR, sekurang-kurangnya — ada tujuh kredo untuk memperbudak sebuah bangsa. Antara lain sebagai berikut:
Gelontori utang hingga negara target kesulitan untuk mengembalikan, bahkan mencicil bunganya pun ‘megap-megap’;
Hancurkan peran serta fungsi intelijen sehingga bangsa dan negara tersebut berjalan dengan cara meraba-raba oleh karena ‘buta dan tuli’ (tidak paham) siapa sejatinya musuh bersama, darimana titik berangkat bersama, dimana titik tuju bersama, apa nilai bersama, bahkan tidak mengenali JATI DIRI-nya sendiri;
Lemahkan lembaga-lembaga risetnya dengan berbagai cara dan modus. Kenapa? Di negara manapun, riset berperan sebagai lokomotif perubahan. Ia merupakan instrumen penting bagi perjuangan karena riset berorientasi pada cita-cita (negara);
Cukupi kebutuhan lapisan atas dengan cara suap secara selektif sehingga tidak peka alias ‘mbudeg‘ atas peristiwa yang sesungguhnya terjadi;
Jejali publik dengan opini bahwa Perang Generasi IV itu tidak ada. Jadi, ketika ada by design oleh kepentingan (kolonialisme) asing, misalnya, hal itu dianggap wajar serta baik-baik saja. Seolah tidak ada apa-apa;
Penetrasi Politik melalui pengrusakan konstitusi —misalnya amandemen empat kali UUD 1945— guna mengendalikan aturan dan perundang-undangan di bawahnya. Dan tak boleh dipungkiri, akibat amandemen UUD 1945 yang mengubah teks aslinya — telah membidani banyak UU yang justru pro kepada asing;
Merusak paradigma bangsa melalui penjungkirbalikan nilai-nilai falsafah, budaya dan sejarah bangsa. Nilai leluhur dicabut diganti dengan nilai asing, budaya dirusak, bahkan sejarah pun dikaburkan atau dibengkokkan.
Demikianlah pointers diskusi kecil di WAG NR tentang kredo dan langkah guna memperbudak sebuah bangsa secara nirmiliter.
Sebelum membahas pokok pikiran geopolitik ala Barat, perlu dicermati terlebih dahulu dua isu aktual di panggung global, antara lain:
Pertama, ada pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik sehingga abad ke-21 disebut sebagai “Abad Asia Pasifik”;
Kedua, ajuan anggaran 3 triliun dolar oleh militer AS guna ‘melawan Cina’ disetujui oleh Joe Biden.
Ya. Meski banyak cara pandang dan pemikiran geopolitik, dalam telaah ini — penulis ingin menyampaikan tujuh pokok pikiran (geopolitik) ala Barat dalam membaca konflik di Myanmar.
Adapun pokok pikiran dimaksud antara lain sebagai berikut: 1) teori ruang (living space) atau lebensraum; 2) teori adu kekuatan; 3) teori ras; 4) hukum yang menentukan takdir suatu bangsa; 5) geografi sebagai sarana untuk membenarkan ekspansi; 6) economically integrated large space areas theory (wilayah yang terintegrasi secara ekonomi); 7) frontier.
Bahwa konsep dasar teori ruang (lebensraum) ala Barat —ini inti geopolitik— cenderung ekspansif sebagai kebutuhan biologi. Manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup.
Hal itu sah-sah saja, karena dalam geopolitik — negara selaku organisme (biological necessity in the lives of state) yang lahir, berkembang, menyusut dan mati. Nah, konflik Myanmar merupakan benturan antar – lebensraum yang dikembangkan baik oleh Cina maupun AS melalui masing-masing proxi. Dalam hal ini, (asumsi) junta militer ialah proxi Cina pada satu sisi, sedang Aung Sun Suu Kyi merupakan proxi AS di sisi lain.
Tanpa mengecilkan peran ASEAN yang telah bersidang dan menelorkan butir-butir kesepakatan di Jakarta kemarin, kemungkinan niat menyelesaikan konflik di Myanmar bakal menemui jalan buntu. Mengapa begitu? Selain Piagam ASEAN menyuratkan kebijakan non-intervensi terhadap urusan internal di antara sesama anggota, juga sebenarnya — ASEAN itu sendiri terbelah. Ya. Sebagian anggota ikut Commonwealth (Barat), sebagian berafiliasi ke Cina melalui Belt and Road Initiative (BRI) atau sebelumnya dikenal dengan istilah One Belt One Road (OBOR).
Retorikanya begini, “Sedang PBB yang memiliki otoritas lebih luas lagi kuat serta mampu menekan melalui resolusi tak digubris oleh Myanmar, apalagi ASEAN?”
Sekali lagi, itulah ujud (teori) adu kekuatan, perebutan kekuasaan atau penguasaan posisi dan dominasi yang digelar kedua adidaya di Myanmar. Istilahnya “proxy warfare” dalam arti kurusetra (war theatre) alias medan tempur.
Asumsi berikutnya ialah teori ras. Bahwa berbasis bakat, sifat potensi bangsa atau ras tertentu di suatu bangsa dianggap berhak memimpin bangsa lain. Hal ini pernah dilakukan Hitler sehingga menjadi faktor penyebab Perang Dunia II. Dan tampaknya, Cina mengembangkan dogma leluhurnya “Chungkuok Tianshi” —Cina di bawah langit. Hanya Cina di bawah langit, semua negara di bawah Cina— pada satu pihak, sedangkan Paman Sam mengamalkan ‘teori polisi dunia’ di pihak lain. Dan lagi-lagi, ini juga bentuk benturan teori (ras) kedua adidaya di panggung geopolitik global.
Hukum-hukum yang menentukan takdir suatu bangsa atau negara (deterministik) dan (seolah-olah) berdasarkan the fulfilment of the will of providence. “Memenuhi suruhan Tuhan”. Hanya bangsa unggul yang mampu bertahan hidup serta langgeng dan melegitimasi hukum ekspansi, kata Frederich Ratzel. Buktinya mana?
Diabaikannya Rezim UNCLOS 1982 oleh Cina via nine dash line di Laut Cina Selatan (LCS), misalnya, merupakan bukti riil atas teori Ratzel. Ya. Cina merasa sebagai bangsa unggul sehingga melegitimasi (hukum) ekspansi di LCS.
Dan menyoal ekspansi, petualangan militer Paman Sam hampir tak terhitung di muka bumi. Hanya saja ia memakai (geo) strategi melalui isu-isu seperti HAM, misalnya, demokrasi dan seterusnya sehingga seolah-olah tindakannya benar secara hukum (internasional). Ibarat permainan biadab namun dilakukan dengan tata cara (seolah-olah) beradab.
Geografi sebagai sarana untuk membenarkan agresi atau ekspansi. Kenapa? Secara geografi, wilayah Cina (menyatu) dengan Myanmar dan hampir tidak terpisahkan baik oleh lautan, lembah, maupun gunung-gunung. Ini menjadi alasan kuat Cina untuk mengkooptasi Myanmar secara geografis.
Teori economically integrited large space areas (wilayah yang terintegrasikan secara ekonomis). Hal ini juga pengembangan teori di atas, bahkan langsung mengarah kepada substansi (geoekonomi).
Pembenaran dalam the principle of geographical unity. Dalam argumen dan proponennya memeluk geographical determinisme dan konsep geopolitik yang kabur tentang natural frontiers. Dan tak boleh disangkal, dalam praktik serta implementasi geopolitik — para pihak kerap berupaya mempertebal atau justru mempertipis frontier karena tidak diantisipasi. Inti frontier ialah sejauhmana pengaruh asing di perbatasan, dan sejauhmana kepentingan nasional para pihak terpenuhi.
Frontier dibuat kabur karena para pihak tidak konsisten untuk semua bangsa dan keadaan serta hanya menguntungkan pihak sendiri. Dalam hal ini, Cina di satu sisi dan AS pada sisi lain — sama-sama ingin melebarkan serta meluaskan frontiernya di Myanmar.
Sampailah pada simpulan tulisan ini, antara lain sebagai berikut:
Hakiki konflik di Myanmar ialah perang perpanjangan tangan (proxy war) antara Cina versus AS melalui masing-masing proxi untuk akses ke energi;
Kiprah PBB apalagi ASEAN pada konflik tersebut, kemungkinan besar tidak akan berjalan optimal atau formalitas belaka;
Kemungkinan besar, konflik Myanmar akan terus berlarut sebagaimana peperangan di Syria yang sudah berlangsung 10-an tahun, kenapa? Berbanding lurus dengan pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik di abad ke-21, agaknya tersirat pula perpindahan “medan tempur” dari Timur Tengah cq Syria ke ke Asia Pasifik cq Myanmar, sementara para pengendali konflik di balik layar tidak berubah/sama.
Demikian telaah singkat berbasis pokok-pokok pemikiran geopolitik ala Barat ini diakhiri. Tidak ada maksud menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak-pihak berkompeten melainkan sekedar sharing pengetahuan serta berbagi analisis.
Apa boleh buat. Selain terbentur waktu, sedikit referensi, terbatasnya kemampuan penulis, juga telaah ini masih jauh dari akurasi atas hakiki peristiwa. Kritik dan saran akan kami perlukan guna perbaikan materi agar kajian ini mendekati kebenaran.
Konflik Syria sudah berlangsung semenjak 2011-an —sekitar 10 tahun— dan belum ada tanda-tanda berakhir. Entah sudah berapa jumlah jiwa melayang, korban luka, berapa kerugian material akibat peperangan di Syria. Tak terkira.
Beberapa retorika muncul terkait penyebab, antara lain:
Apakah perang berlarut di Syria disebabkan konflik (antarmazhab) antara syi’ah versus sunni;
Apa keuntungan Amerika Serikat (AS) dan sekutu jika ikut campur tangan urusan syi’ah-sunni; pun demikian dengan Rusia dkk, apa keuntungan jika peperangan cuma menyoal pertikaian antarmazhab dalam agama?
Retorika memang tidak untuk dijawab. Let them think let them decide. Silahkan putuskan sendiri. Clue-nya adalah: “Bahwa syi’ah versus sunni hanya framing media”. Ia cuma isu (pintu) pembuka belaka.
Geopolitik mengajarkan, tidak ada perang antaragama, tidak ada perang suku, konflik ras dan seterusnya melainkan karena faktor geoekonomi.
Ya. Geoekonomi pada abad ke-19 memang soal rempah-rempah sebagaimana dulu asing menjajah nusantara. Namun, memasuki abad ke-20 ke atas makna geoekonomi bergeser menjadi emas, minyak dan gas bumi.
Dan tidak dapat dipungkiri, penyebab utama peperangan di Syria ialah sengketa geoekonomi. Selain memperebutkan energi —minyak dan gas— juga faktor (geo) posisi Syria ada di “titik simpul” Jalur Sutra yang membentang dari perbatasan Cina/Rusia – Asia Tengah – Timur Tengah – Afrika Utara hingga Maroko. Itu garis bentang kawasan Jalur Sutra. Jalur “basah” sekaligus jalur legenda bagi militer (dan ekonomi) dunia. Garis yang memisahkan antara Dunia Barat dan Dunia Timur.
Maksud “titik simpul” ialah pertengahan jalur, misalnya, bila ke arah utara akan sampai ke Eropa; jika ke Barat menuju Afrika Utara hingga Maroko, ke timur menuju Asia Tengah dan Timur Tengah dan lain-lain.
Nah, takdir geopolitik Syria berada di titik simpulnya. Penggal pertengahan pada jalur legenda tersebut.
Selanjutnya daripada itu, selain Syria sendiri kaya akan energi, juga faktor geoposisi —takdir geopolitik— yang menggiurkan karena merupakan lintasan hampir semua pipa minyak dan gas antarnegara bahkan lintas benua.
Syahdan APBN Syria yang berasal dari “fee” lintasan pipa —konon per barel/5 dolar AS— sudah cukup lumayan besar.
Makanya, Arab Spring dahulu diletuskan (oleh Barat) dimulai dari Tunisia, lalu bergeser ke Libya, Yaman, Mesir termasuk Syria — dimana semua negara target merupakan kawasan Jalur Sutra terutama penggal Afrika Utara dan Timur Tengah yang kaya akan energi.
Arab Spring tak lain ialah tata ulang kekuasaan oleh Barat secara nirmiliter (asimetris) di penggal Jalur Sutra meskipun untuk Lybia dan Syria out of control. Tak bisa ditundukkan secara nirmiliter. Tetapi, Lybia dianggap “selesai” via Resolusi PBB No 1973/No Fly Zone dan SDA-nya kini jadi bancaan asing, sedang Syria hingga kini terus melawan bahkan mampu mengubah kebijakan luar negeri Paman Sam, khususnya di era Joe Biden dengan penarikan pasukan dari Timur Tengah.
If you would understand geopolitics today, follow the oil (Deep Stoat, 2003). Jika ingin memahami geopolitik hari ini, ikuti aliran minyak. Kenapa? When it comes to oil is 90% about politics and 10% is about oil itself (Guilford, 1979). Membahas minyak 90% adalah politik, dan 10%-nya soal teknis perminyakan itu sendiri.
Itulah sekilas faktor penyebab konflik di Syria. Dan inilah prolog singkat telaah kecil ini.
Merujuk judul di atas, sekarang bergeser ke Myanmar. Ya. Apabila merujuk tesis Deep Stoat dan Guilford, faktor utama konflik di Myanmar hampir sama dengan perang Syria, semata-mata karena faktor geoekonomi (energi). Jadi, bukan masalah kecurangan pemilu sebagaimana tuduhan junta militer kepada Aung San Suu Kyi cs, ataupun isu HAM, demokratisasi dan lain-lain. Bukan. Sekali lagi, bukan! Itu hanya isu-isu pembuka sebagaimana framing syi’ah-sunni ditabur pada awal konflik di Syria.
Retorikanya ialah: “Seandainya Myanmar hanya penghasil jambu mente, apa akan muncul isu kecurangan pemilu; atau jika Myanmar cuma produsen sandal jepit, adakah isu HAM di sana?”
Akan tetapi, kajian konflik Myanmar kali ini, tidak melulu dari sektor energi. Telaah kali ini mencoba membedah konflik dari pokok-pokok pikiran ala Barat dengan geopolitik sebagai basisnya.
Bagaimana pokok-pokok pemikiran geopolitik ala Barat?