Sepintas Metode Asymmetric War
Dalam peperangan apapun, entah militer maupun secara nirmiliter alias asimetris (asymmetrical war), ada metode (tak tertulis) di pertempuran yaitu: “edit dan kontra berita”. Dari unik namanya sudah bisa diterka, kemana arah sasaran.
Di era modern, tata cara perang kini bukan cuma menghancurkan lawan, tidak melulu mengalahkan musuh secara militer. Ya. Selain manuver intelijen yang senyap lagi tak teraba, juga ada taktik perang tanpa asap mesiu.
Tujuan awal metode ini —edit dan kontra berita— tak lain agar publik tidak dapat melihat apa yang sesungguhnya terjadi di medan pertempuran. Atau, realitas lapangan sengaja disembunyikan agar moril pasukan di medan tempur tetap terjaga. Itu titik mulanya. Ketika ada korban tewas dua kompi dari pasukan sendiri (dan kawan), misalnya, ia diedit lalu diberitakan hanya dua orang saja yang tewas, kecuali korban dari pihak lawan justru dieksploitasi, dibesar-besarkan. Untuk apa? Sekali lagi, guna membangkitkan moril pasukan sendiri (dan pasukan kawan); ataupun, sisa puing-puing di TKP segera dibersihkan supaya seolah-olah (situasi) terlihat aman-aman saja. Padahal, faktanya banyak jatuh korban dan puing berserak usai diserang lawan secara besar-besaran. Ini sekadar contoh lagi.
Tampaknya semakin ke sini, taktik tersebut kian canggih. Maksud dan tujuannya pun bukan lagi menjaga moril pasukan belaka, tetapi ada (hidden) agenda lain turut menumpang, bahkan lebih dominan.
Nah, siasat ini kerap disebut deception, atau penyesatan publik (via media massa). Suatu berita misalnya, jika merujuk metode ini, ia bukan fakta yang sebenarnya. Kenapa? Sebab, konstelasi (geo) politik mengajarkan bahwa edit dan kontra berita lazim dijalankan kelompok kepentingan terutama pihak yang menguasai media massa guna menggiring opini publik sesuai keinginannya. Faktanya A, lalu diedit menjadi B. Sehingga opini yang terbentuk di publik adalah B. Ini contoh. Dan di masa damai, edit dan kontra berita kerap dipakai dalam medan politik baik oleh kelompok oposisi maupun rezim koalisi. Namun terkadang, bila editnya berlebihan, justru tak elok. Dapat berubah menjadi hoaks. Isu tanpa fakta. Publik malah tidak percaya.
Jika merujuk teori, ini implementasi ajaran propaganda ala Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi (1942): “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja”.
Di masa damai, rezim dan/atau pihak oposisi manapun, kapanpun, siapapun — jika ingin memakai modus ini (edit dan kontra berita), syaratnya kudu bisa mengendalikan media mainstream, menguasai jagat medsos, dan ia harus memelihara buzzer guna membalik persepsi publik, atau mendramatisir narasi untuk mengalihkan isu tak menguntungkan, ataupun sekadar membuat gaduh situasi karena ada agenda besar yang hendak digulirkan.
Dalam konteks ini, jangan berharap ada etika dan kebenaran pada entitas (buzzer) ini. Mereka tak pernah keliru dalam bertindak melainkan tujuan tercapai. Dogmanya pun ekstrim, “Ketika tulang ditaruh di mulut anjing, maka kebenaran cuma milik majikan”. Para buzzer, memang disiapkan untuk menyalak alias menggonggong demi (kepentingan) si tuan.
Akan tetapi, ketika sikap dan statement para buzzer dijadikan rujukan oleh publik cq warganet, hal ini yang justru merupakan masalah, kenapa? Selain warganet sudah tidak dapat membedakan mana realitas mana isu “gorengan”, juga hal itu mencerminkan kemunduran logika publik, atau semacam logical fallacy. Sesat (cara) berpikir.
Hal lain lagi, meski media bisa “berbohong”, namun aspek (sosial) ekonomi terutama bidang ekonomi tidak kuasa berbohong sepenuhnya. Mengapa begitu, mungkin sudah menjadi kredo dunia ekonomi bahwa guna menjaga kepercayaan publik (public trust), perbankan contohnya, ia harus menyampaikan data dan transaksi apa adanya.
Dalam operasional metode ini, sisi yang sulit diedit ialah data perbankan selalu berbanding lurus dengan realitas ekonomi, ataupun pararel dengan peringkat utang misalnya, atau inflasi dan lain-lain.
Tatkala ada statement otoritas bahwa kondisi perekonomian baik-baik saja, tetapi di sisi lain — inflasi menggila, daya beli turun, impor lebih tinggi daripada ekspor dst, maka sudah bisa ditebak bahwa para elit di suatu rezim tengah menjalankan modus edit dan kontra berita.
Demikian ulasan singkat tentang edit dan kontra berita sebagai metode baik di masa perang maupun pada medan politik di masa damai. #__
Mer-Bak, 2501-22