Mencermati (geo) strategi Putin di Afrika melalui kiprah Wagner Group, maka terbaca meski samar-samar bahwa ‘pemberontakan Wagner’ terhadap Rusia dalam operasi militer khusus (konflik) di Ukraina, sepertinya cuma sekedar false flag operation. Operasi bendera palsu. Berpura-pura bekerja untuk kepentingan musuh, padahal demi kepentingan sendiri/kawan. Itu poin inti operasi bendera palsu.
Bila flashback sejenak atas kejayaan nusantara tempo doeloe, boleh ditebak, langkah Putin di Afrika sepertinya meniru pola Ekspedisi Pamalayu ala Nusantara tempo doeloe dimana pernah dijalankan oleh Kerajaan Singasari (1275-1286). Narasi singkatnya begini, jika Putin dianalogkan sebagai Kertanegara, Raja Singasari, misalnya, dan Yevgeny Prigozhin —pimpinan Wagner Group— padanan Kebo Anabrang, pimpinan Ekspedisi Pamalayu.
Tujuan pokok kedua strategi di atas (Rusia dan Singasari) nyaris sama. Ya. Selain mencaplok geoekonomi negara-negara (tujuan) target, hal yang tak kalah urgen ialah strategi untuk melemahkan pengaruh dan menghancurkan hegemoni musuh.
Apabila Ekspedisi Pamalayu untuk membendung hegemoni China, tepatnya membendung ekspansi Dinasti Yuan cq Kubilai Khan di Nusantara; sedang Geostrategi Rusia ialah mengeliminer pengaruh serta membendung gerak laju Barat dalam hal ini adalah Prancis dan Amerika Serikat di Afrika.
Perbedaan kedua ‘strategi’ sangat tipis. Jika tidak cermat mengamati, nyaris terlihat sama. Apabila Ekspedisi Pamalayu menggunakan tentara reguler sehingga mengakibatkan pertahanan Singasari melemah di satu sisi, karena banyak pasukan didorong keluar sehingga penjagaan ibu kota agak kendor, sedangkan ekspansi Putin di Afrika melalui Wagner Group, pasukan swasta alias tentara bayaran —bukan tentara reguler— untuk melaksanakan diplomasi militer (dan ekonomi).
Membandingkan kedua pola, strategi Rusia dinilai setingkat lebih cerdas daripada Singasari. Tentara boleh ekspansi, namun pertahanan di dalam tetap kuat dan kokoh, karena yang didorong untuk ekspansi bukannya tentara reguler. Sedang Singasari, secara penuh menggunakan tentara reguler sehingga pertahanan di dalam cenderung lemah.
Yang paling mencengangkan lagi out of the box pada kebijakan Putin di Afrika ialah, selain membebaskan utang kepada beberapa negara Afrika (sekitar Rp 300-an triliun), juga mengirim biji-bijian puluhan ribu ton secara gratis termasuk ongkos angkutnya. Sangat luar biasa. Barangkali, tidak akan ditemui praktik teori ruang (perluasan hegemoni) di dunia seperti Putin.
Demikian sepintas perbandingan geostrategi antara Singasari di masa lalu dengan Rusia pada era sekarang dalam rangka mengamalkan teori ruang (living space) alias lebensraum dalam praktik geopolitik.
Melihat Fakta di Balik Peristiwa atas Viral Isu MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi
Hari ini, sepertinya tengah terjadi upaya pembelahan ataupun pelemahan kekuatan secara masif oleh invesible hands supaya isu-isu hulu, khususnya isu MPR kembali menjadi Lembaga Tertinggi Negara tidak menjadi trending topic. Tak jadi perhatian publik. Ini asumsi awal catatan ini.
Ya, mengembalikan MPR selaku lembaga tertinggi memang identik mengembalikan Kedaulatan Rakyat sebagai pemilik tertinggi kedaulatan di negara ini, dimana sejak 2004, telah dibajak oleh partai politik (parpol) berbasis UUD hasil amandemen (1999 – 2002).
Sekali lagi, itulah salah satu isu hulu yang kini tengah bergulir kuat di publik setelah topik tersebut dilempar Bamsoet, Ketua MPR, lalu disambut oleh LaNyalla, Ketua DPD RI, dalam pidato kenegaraan pada hari Rabu, 16 Agustus 2023 di Gedung Nusantara II, DPR/MPR RI, Jakarta. Intinya, “MPR kembali menjadi lembaga tertinggi, membuat GBHN, memilih dan menunjuk presiden/wakil presiden sebagai mandataris, membuat Ketetapan/Tap dst”.
Kalau sudah begini, isu ‘bajingan tolol’-nya Rocky Gerung, misalnya, ataupun berita pengkhianatan Budiman Sudjatmiko kepada PDIP-P, atau kasus – kasus korupsi yang terus terkuak di publik dan lain-lain, sejatinya merupakan isu-isu hilir yang tidak perlu terjadi bila masalah hulu ini sudah dibenahi dan diselesaikan. Penjelasan hal dimaksud, perlu sesi tersendiri. Lain kali dibahas.
Jadi, apakah penggaduhan isu-isu hilir hanya deception (pengalihan) agar isu hulu tidak menjadi agenda publik?
Tidak juga. Keduanya, baik isu hulu maupun hilir saling berkelindan membentuk format terbaik untuk bangsa dan Negara Tauhid ini. Semoga. Dan sepertinya, ada skenario lain menyelinap senyap di antara beberapa skenario para elit politik. Dan ia —skenario lain— tercium melalui beberapa isyarat alias tanda-tanda. Maka, bacalah!
Tak dapat dipungkiri, pemilu bermodel one man one vote sebagai produk konstitusi UUD hasil amademen (1999 – 2002), selain bernapaskan individualis lagi liberal, justru membuat polarisasi sosial, menciptakan keterbelahan masyarakat kian lebar, menimbulkan konflik antarparpol maupun di internal parpol, juga yang paling utama — one man one vote— menabrak sila ke-4 dan melemahkan ikatan sila ke-3 dari Pancasila. Itu yang perlu disadari bersama oleh segenap anak bangsa. Pancasila telah dilanggar (bahkan ditinggalkan) secara terang-terangan dalam sistem bernegara akibat amandemen UUD 1945.
Kiranya, Pidato Kenegaraan Bamsoet dan LaNyalla di Gedung Nusantara II adalah ‘pintu pembuka’ bagi semua elemen bangsa, dan menjadi gelombang perubahan sistem bernegara kembali ke jati diri bangsa dengan menggunakan lagi konstitusi yang merupakan maha karya the Founding Fathers.
Terkait hari yang terpilih pada Pidato Kenegaraan, Ki Lanange Jagat pernah bertutur, “Le, Rabu itu tandanya RAJA, omongannya selalu BENAR!”.
Sesungguhnya kita semua hanya penyaksi. Sekedar menjemput takdir masing-masing. Dan di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
Saya pikir, RUNGKAD itu nama orang. Namun, setelah gebyar dinyanyikan serta untuk joget-joget pada Hari Kemerdekaan ke-78 di Istana Negara, saya jadi penasaran, cari di google — ternyata Rungkad itu artinya hancur, tumbang dan rusak berkeping-keping. Istilah ini berasal dari bahasa Sunda untuk menggambarkan perasaan seseorang yang sedang tidak baik-baik saja. Kalau dalam bahasa Jawa, arti serupanya adalah AMBYAR.
Herannya, kenapa lagu tersebut dinyanyikan pada hari sakral lahirnya bangsa ini dan di Istana Negara yang penuh simbol-simbol (geo) spiritual dijadikan arena joget-joget. Isyarat apakah itu?
Telaah Kecil Prakiraan Situasi Jelang Tahap Pendaftaran Capres/Cawapres 2024
Judul dan clue di atas cukup menarik. Mengaduk-aduk pikiran publik. Pada satu sisi, ada pihak yang menumpang dalam gejolak massa guna meloloskan agendanya lewat false flag operation (seolah-olah bekerja untuk kepentingan musuh, padahal demi kepentingan sendiri/kawan). Atau, katakanlah itu ‘kegentingan memaksa’. Tak lain. Upaya penciptaan kondisi (cipkon) yang harus ‘diraih’ melalui gejolak sosial berskala besar agar ada dalih untuk menunda pemilu, contohnya, ataupun upaya memperpanjang masa jabatan presiden akibat kegentingan memaksa. Akan tetapi, di sisi lain, bagaimana caranya menunda pemilu dan/atau perpanjangan masa jabatan presiden?
Bila melalui Dekrit Presiden misalnya, selain tidak terumus dalam konstitusi, juga tidak cukup power guna menganulir konstitusi itu sendiri, apalagi cuma Perppu. Nonsense. Maka satu-satunya cara ialah via Ketetapan/TAP MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara yang TAP-nya bersifat regeling alias mengatur.
Lantas, bagaimana bisa terbit TAP MPR sedangkan MPR sudah di-downgrade menjadi Lembaga Tinggi Negara dimana TAP-nya cuma sekadar administratif seremonial belaka?
Ada dua cara untuk mengembalikan MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara agar ia berfungsi selaku puncak piramida politik dan berperan sebagai penjelmaan rakyat pemegang tertinggi kedaulatan rakyat. Antara lain adalah:
Pertama, Kesepakatan/Konsensus Nasional. Alasan filosofinya, NKRI adalah negara kesepakatan. Dan kini, kredo dimaksud dimunculkan lagi untuk mengembalikan kedudukan dan status MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara;
Kedua, jika ingin berbasis konstitusi maka digunakan pasal 37 UUD NRI 1945 tentang perubahan UUD via amandemen ke-5 dalam rangka mengembalikan kembali status MPR selaku penjelmaan rakyat alias Lembaga Tertinggi Negara.
Singkat narasi, bahwa upaya false flag alias cipkon menuju kegentingan memaksa guna ‘meraih’ TAP MPR yang bisa memperpanjang masa jabatan presiden ataupun penundaan pemilu, contohnya, maka akan tergiring false flag operation pula yaitu mengembalikan Kedaulatan Rakyat yakni MPR kembali sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
Tahap lanjutan ialah pertempuran senyap —perang pikiran— di Gedung DPR/MPR dalam rangka memperebutkan siapa dan apa kriteria Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagai unsur dalam MPR selain anggota DPR. Ini tak kalah sengit dan cukup menguras energi bangsa namun bersifat elitis, kurang melibatkan massa.
Lalu, bagaimana kedudukan anggota DPD? Mereka akan dilebur sebagai anggota DPR dari Fraksi Perorangan.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
Kecerdasan awal manusia boleh disebut kepintaran. Ia bersumber dari akal dan logika. Output-nya: “Benar atau tidak benar/salah”. Dan godaan (ujian) atas kecerdasan awal ini ialah ujaran leluhur, “Lek bodo ojo koyo khewan, nek pinter ojo koyo setan” (Kalau bodoh jangan seperti hewan, kalaupun pintar jangan seperti setan). Bukankah banyak para elit yang mengaku pintar namun perilakunya mirip setan?
Diksi setan itu diambil dari bahasa Arab, artinya orang yang berpikiran jahat. Jadi, ketika kita sudah berpikiran jahat, itu sudah masuk pengaruh setan.
Pun demikian sebaliknya, jangan bodoh seperti hewan. Mbebek, misalnya, atau ngembek, menjilat, dan lain-lain.
Selanjutnya soal tingkatan kedua sebuah kecerdasan. Ya. Ketika kecerdasan awal (kepintaran) terus dikembangkan lalu menemui ‘maqom’-nya, bisa disebut dengan istilah kebijaksanaan. Ya. Kebijaksanan tidak bersandar logika dan akal, namun lebih kepada akal budi yang bersumber dari hati (nurani) alias albab dalam tingkatan hati. Output-nya ialah: “Adil atau tidak adil”.
Sedangkan kecerdasan utama (ketiga atau tertinggi) ialah makrifatullah —syukur-syukur bisa ke ranah gaib— insyaAllah kecerdasan ini bersumber dari Ilahi. Ilmunya kerap disebut ‘laduni’. Jatuh dari langit. Sudah pasti benar/mutlak.
Banyak sisi pandang bisa digunakan untuk membaca isu bajingan tolol ala Rocky Gerung (RG). Dan yang tengah viral di publik kini ialah sudut pandang politik praktis. (Seolah-olah) dua kepentingan yang bertabrakan di atas permukaan. Makanya ramai lagi gaduh. Apalagi dikaitkan dengan martabat presiden. Namun, entah apa hidden agenda atas isu dimaksud. Sebab, bila merujuk asumsi Pepe Escobar (2007), bahwa politik praktis bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Nah, kegaduhan isu RG adalah hal yang tersurat semata. Lantas, apa tersiratnya?
Kalau secara hukum sudah jelas, isu yang dilempar RG di publik merupakan delik aduan. Dapat disidik oleh kepolisian jika ada pengaduan langsung dari korban. Clear. Sedangkan dari perspektif geopolitik, isu bajingan hanya bias terjauh dari geoekonomi. Sama sekali tak menyentuh Kepentingan Nasional RI. Hanya residu atau isu hilir, bahkan sangat hilir.
Menurut hemat penulis, sisi menarik justru dari perspektif intelijen. Kenapa? Ada dua pakem (dogma) tua dunia intelijen yang beroperasi secara senyap, yaitu: 1) apa yang terlihat bukanlah yang sesungguhnya terjadi; 2) apa yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada.
Nah, dari dogma tua ‘dunia gelap’ tersebut membidani beberapa metode intelijen, entah di tataran taktis, teknis bahkan strategi, contohnya, deception (ini trik penyesatan). Pada trik ini, publik sepertinya sudah khatam, bahwa kegaduhan diciptakan hanya untuk pengelabuhan karena ada agenda besar lain hendak digulirkan. Senyap menyelinap. Atau, taktik kontraintelijen. Persamaan. Ini lebih kepada isu tandingan. Terkait deception di atas, apa isu tandingan dari bajingan tolol? Ini yang perlu ditelaah lebih lanjut agar publik tidak larut dalam kegaduhan. Ataupun, praktik ‘agen ganda’ atau double agent dan lain-lain.
Yang paling cerdas ialah false flag operation (FFO) alias operasi bendera palsu. Poin inti FFO misalnya, seolah-olah bekerja untuk kepentingan musuh padahal demi kepentingan sendiri/kawan. Asumsi liar pun berkelindan, “Jangan-jangan isu bajingan cuma TikTok-an antara RG dan Istana?”
Nah, isu bajingan tolol yang menimbulkan kegaduhan di publik sekarang ini —dari dua pakem tua intelijen— kira-kira masuk kategori mana?
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang dari rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
Hari ini, Mali, Burkina Faso, Chad, dan Niger — empat negara berkembang di Afrika, bahkan tergolong ‘negara miskin’ berani dan mampu mengusir tentara (penjajah) Prancis dari negerinya, bahkan melarang ekspor uranium ke Prancis dan Amerika Serikat. Tetapi, hari ini pula, para elit politik di republik tercinta ini —termasuk buzzer dan nitizen— masih gaduh soal delik biasa atau delik aduan. Benar-benar sontoloyo!
Membandingkan pilpres antara model one man one vote alias pemilihan langsung (pilsung) dengan musyawarah mufakat melalui MPR, maka model pilpres di MPR jauh lebih murah dan nyaris tanpa kegaduhan signifikan. Bila timbul kekisruhan, sifatnya elitis. Kegaduhan terlokalisir di sekitar elit, tidak meluas ke ruang publik. Rakyat hanya menyaksikan via media. Memberi support dari luar dan berdoa agar ‘para jelmaan rakyat’ (anggota MPR) memperoleh petunjuk-Nya agar melahirkan hal-hal terbaik bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Hal ini, sudah tentu berbeda dengan pilsung. Berbasis pengalaman empat pilpres sebelumnya (2004, 2009, 2014, 2019), model pilsung —one man one vote— selain high cost politics, juga mengandung beberapa kerentanan sosial budaya dan kegaduhan politik, antara lain misalnya:
Pertama, Keterbelahan Masyarakat (Social Enclave). Ini suatu keniscayaan. Rakyat seketika terbelah ke dalam kantong-kantong sosial. “Pro ini, pro itu”. Ada relawan A, buzzer si B, pendukung C, dan seterusnya sesuai persepsi dan perspektif masing-masing. Persepsi berbasis sentimen, mungkin, atau perspektif agama contohnya, back ground masa lalu, perkoncoan, dan lainnya. Sebenarnya tidak salah. Sah-sah saja. Namun, kerap kali kongsi serta pertemanan yang telah terajut lama bisa retak gegara beda pilihan. Dirusak sistem. Group letting pun bisa ‘panas’. Bahkan ada pula yang merambah sampai ke dapur rumah tangga tatkala suami, istri dan anaknya beda pilihan politik.
Berkembang anekdot di lingkaran ‘tamu tak diundang’. Ya. Seumpama pilpres diibaratkan orang melahirkan (memang melahirkan Kepemimpinan Nasional), maka model one man ove vote adalah ‘rahim haram’. Sebab, selain tidak sesuai dengan sila ke-4, juga melemahkan bahkan menghancurkan sila ke-3 Pancasila: “Persatuan Indonesia”; sedang pilpres via MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara ialah ‘rahim halal’ sebab merupakan maha karya serta warisan the Founding Fathers.
Dan dari rahim (haram) one man one vote pula, lahir istilah olok-olok atau ejekan semacam kampret, kecebong, kadrun dan lainnya. Celakanya, selain olok-olok tersebut sengaja dipermanenkan, terdapat upaya untuk terus dipelihara dan ‘menggaji’ mereka seolah-olah sebuah profesi/pekerjaan.
Seandainya dulu (2004) model pilpres tak diubah menjadi one man one vote, mungkin kampret dan kecebong tidak akan lahir, tak pernah ada, dan tidak bereksistensi secara terstruktur dan masive sebagaimana kini berlangsung.
Nah, akibat kondisi di atas, kecenderungan publik sekarang mudah (‘dibakar’) digaduhkan hanya oleh persoalan residu serta ecek-ecek. Dilempar isu korupsi, contohnya, kampret dan cebong langsung berkoar, atau ditebar isu al-Zaytun, publik malah lupa isu-isu lainnya. Sementara permasalahan hulu bangsa selaku sumber kegaduhan justru senyap. Nyaris tidak ada geliat signifikan, sebab tertutup lautan isu di hilir persoalan bangsa;
Kedua, Money Politics. Tak bisa dipungkiri, rakyat digiring untuk ‘mata duitan’ bahkan materialistik. Lalu egoistik menguat, individualis mengemuka. NPWP. Nomer Piro Wani Piro. Konsekuensi daripada itu, para kandidat berlomba mendulang suara lewat pencitraan. Tancap baliho, bagi-bagi amplop, tebar sembako, dan lainnya. Ketika ada warga hendak nyaleg, pertanyaan pertama yang terucap, “Sudah siap duit berapa?”. Repot. Ukuran keterpilihan dilihat berapa uang dimiliki si caleg.
Gilirannya, selain yang dicoblos oleh para pemilih —dalam pilsung— hanya citra si kandidat, bukan ideologi, tak pula integritasnya, apalagi gagasan. Para konstituen gak ngurus apa itu ideologi atau macam mana gagasan. Kenal saja tidak. Bukankah citra itu realitas semu?
Sekali lagi, NPWP. “Kami menerima serangan fajar”. Pada akhirnya, suara profesor pun bisa dikalahkan dengan suara (maaf) orang gila yang dimobilisir, ataupun kalah oleh sejumlah pemilih pemula (lulusan es em a).
Kerawanan paling utama pada demokrasi liberal ala Barat ini sangat berperan lagi dominannya kaum pemodal (oligarki ekonomi), baik oligarki lokal maupun global. Siapa capres mampu dan mau ‘membakar’ Rp 10-an triliun rupiah, kecuali konsorsium pemilik modal? Kalau sudah begini, siapapun pemenang niscaya dalam kendali (‘boneka’) alias diremot oleh oligarki ekonomi, si bandar logistik. Napoleon Bonaparte berkata, “Amateur discuss tactic, the professional discuss logistic“. Agaknya, quote Napoleon tidak hanya berlaku di mandala tempur, namun juga di medan politik. Maka keniscayaan berikutnya ialah, akan banyak kebijakan publik tak berpihak kepada rakyat, oleh karena terbitnya kebijakan atas pesanan si oligarki ekonomi. Ya, semacam (politik) balas budi;
Ketiga, Korupsi Marak. Di zaman Orde Baru, korupsi hanya terjadi pada lingkaran pusat. Namun di era kini, korupsi hampir merata pada setiap tingkatan dan lini pelayanan baik di pusat hingga di desa. “Korupsi berjamaah”.
Dari fakta di atas, sebenarnya sudah bisa dirumuskan asumsi, bahwa korupsi di era reformasi bukan persoalan moral semata, tetapi faktor sistem politik. “Ya, korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem”. Bahkan malaikat pun jika masuk ke sistem ini, kata Pak Mahfud MD, bisa menjadi iblis!
Keempat, belum lagi — dampak negatif dari Otonomi Daerah (Otda). Munculnya berbagai fenomena nyleneh di publik, misalnya, petruk dadi ratu, atau raja-raja kecil di daerah, kere munggah bale, dst yang justru menyimpang dari filosofi kepemimpinan ala Ki Hajar Dewantara (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani);
Kelima, dan masih banyak isu negatif lain di publik akibat praktik UUD hasil amandemen, terutama side effects Otda serta praktik one man one vote.
Di ujung tulisan ini, pertanyaan menggelitik pun muncul, “Sampai kapan kegaduhan di republik ini terus terjadi hanya karena menganut sistem koruptif ala Barat, sedangkan kita memiliki sistem sendiri warisan the Founding Fathers yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila?”
Demikian semburat kembang sore yang kini berwarna-warni dalam menyongsong pilpres one man one vote yang bakal berjalan kelima kali (2024 nanti) di republik tercinta ini. Entah hingga kapan.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.