Telaah Kecil atas Rezim Koruptif

Suatu ketika, terjadi pembicaraan antara Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dengan Megawati. Dan substansi obrolannya, disampaikan oleh Ahok di Rumah Pemenangan Cemara, Jakarta Pusat, Minggu (4/2/2024). Ini menimbulkan premis, bahwa semakin terbuka kesadaran kita tentang buruknya UUD 2002 —istilah untuk UUD 1945 hasil amandemen empat kali— karena memberi kewenangan luar biasa kepada siapapun Presiden.

Adapun garis besar pidato Ahok di Cemara, Rumah Pemenangan PDIP di Jakarta Pusat adalah sebagai berikut:

” .. jika Ketua Umum PDIP Megawati mau, bisa saja memuluskan rencana presiden menjadi tiga periode. Ada beberapa indikator yang membuat ini menjadi mungkin karena PDIP berada dalam kekuasaan dan Presiden, yakni Jokowi merupakan kader PDIP”.

Ahok melanjutkan pidato:

“.. Ibu Mega mengatakan, Pak Ahok, soal tiga periode, kalau orang jahat yang memimpin negeri ini, Presiden Indonesia itu sangat berkuasa. Ketika menjadi Presiden RI sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004 silam, hampir seluruh instrumen negara berada dalam genggaman tangan!”

Megawati bilang, lanjut Ahok dalam pernyataannya:

“Saya saja waktu jadi presiden —pertama kali Pilpres Langsung (one man one vote)— kalau saya mau curang, saya yang jadi presiden,” ucap Ahok menirukan Megawati.

Kenapa saya tidak lakukan itu, Pak Ahok?

“Saya ya berkuasa, polisi semua di bawah saya, jaksa di bawah saya, menentukan KPU semua saya, pengadaan seluruh (red: barang dan jasa) semua saya, sampai bawah bisa saya. Saya bisa pakai uang APBD, APBN, belum lagi saya banyak bupati dan walikota, gubernur”.

Ahok membeberkan, mengapa Megawati tidak ingin tiga periode? Menurut Mega, hal ini sama saja mengkhianati reformasi.

“Saya tidak mau demokrasi terbunuh. Saya tidak mau reformasi kita gagal. Kita berjuang dengan darah dan air mata, supaya presiden tidak seumur hidup, hanya dua periode, kenapa sekarang kita mau ubah? Pak Ahok percaya sama saya!”

Nah, dari pernyataan Megawati —Presiden RI ke-5 yang meloloskan ‘UUD 2002’ hasil amandemen UUD 1945 (1999-2002)— bisa ditarik learning points, bahwa Sistem Politik dan Asas Negara pasca-UUD 1945 diamandemen, ternyata memberi kewenangan yang luar biasa kepada Presiden serta membidani ‘sistem yang koruptif’.

Mengapa begitu?

Selain faktor one man one vote, juga Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada lembaga di atasnya (pemberi mandat) karena MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara sudah tidak ada. Inilah hulu permasalahan bangsa yang sesungguhnya. Artinya, jika dulu Mega mau menyimpang itu mudah dilakukan, atau bila SBY berkehendak tiga periode pun bisa dilakukan. Sebab, sistemnya memang koruptif. Memberi kekuasaan yang sangat luar biasa kepada Presiden. Nyaris tanpa kontrol.

Dan inilah yang tidak disadari (atau, pura-pura tak sadar) para Guru Besar dan segenap civitas akademica berbagai kampus yang menyatakan petisi dan sikap prihatin. Kenapa demikian, sebab persoalan bangsa ini ada di hulu, bukan di hilir. Masalah bangsa ini ada di Sistem Bernegara, bukan masalah etika, bukan soal demokrasi yang terbunuh, atau reformasi gagal, dan lainnya.

Pertanyaan menggelitik muncul, “Mengapa yang digugat berbagai citivas akademica bukan masalah hulu yaitu UUD 2002 hasil amandemen (1999-2002); mereka tidak menuntut untuk kembali ke UUD 1945 rumusan the Founding Fathers; agar bangsa ini tak terbelah, misalnya, kenapa tak digelar Pilpres lewat MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara?”

Tatkala para Guru Besar hanya menyikapi persoalan hilir, maka hal itu sangat tergantung sikap dan mental Presiden, bukan sistem (Sefdin, 2024). Kalau Presiden mbudeg, mereka mau apa, rakyat bisa apa?

Itulah mengapa, kita harus kembali ke sistem bernegara rumusan pendiri bangsa, agar Presiden itu hanya mandataris dari penjelmaan rakyat pada lembaga tertinggi, dengan syarat utama — lakukan koreksi penyimpangan yang pernah dilakukan Orde Lama dan Orde Baru.

Jadi, bagaimana solusi atau jalan keluarnya?

Ada beberapa solusi ditawarkan anak bangsa, contohnya, beragam gerakan untuk kembali ke UUD 1945, atau melalui ‘Dekrit Terkoordinasi’-nya Pak Prijanto dari Rumah Persiapan Kembali Ke UUD 1945 (untuk disempurnakan dengan Adendum), dan lain-lain.

Namun, pada telaah ini penulis uraikan “Lima Proposal Kenegaraan”-nya DPD RI, tanpa mengecilkan arti naskah dan gerakan lain.

Kenapa?

Selain naskah DPD RI merupakan produk Lembaga Tinggi Negara, hasil sidang paripurna di DPD, juga yang utama — Lima Proposal Kenegaraan dimaksud telah disampaikan oleh LaNyalla Mattalitti, selaku Ketua DPD RI, dalam Forum Kenegaraan 16 Agustus 2023 di depan Presiden, seluruh anggota parlemen serta disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia melalui media elektronik, cetak, dan media sosial.

Inilah Lima Proposal DPD RI tanpa dikurangi atau ditambahi isinya:

Pertama, mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya diisi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga diisi oleh utusan – utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan;

Kedua, membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya diisi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang (UU) yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi;

Ketiga, memastikan Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG) diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh Presiden, atau dipilih DPRD seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru. Dengan komposisi UD yang berbasis sejarah negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama di kepulauan nusantara, yaitu raja dan sultan nusantara, serta suku dan penduduk asli nusantara. Dan UG yang bersumber dari organisasi sosial masyarakat dan organisasi profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan ideologi, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama bagi Indonesia.

Keempat, memberikan ruang pemberian pendapat kepada UD dan UG terhadap materi Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan UU di DPR.

Kelima, menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

MAP, Kampung Melayu, 7 Februari 2024