Dalam ‘situasi genting’, negara membutuhkan kebenaran, bukan sekadar etika. Itu mutlak. Bukankah keselamatan rakyat ialah hukum tertinggi?
Namun, melihat RDP antara PPATK dan Komisi III DPR RI justru berbading terbalik. Komisi III malah mengejar soal etika, prosedur dan lain-lain daripada upaya menguak transaksi ratusan triliun rupiah di Kemenkeu. Salus Populi Suprema Lex Esto.
Selamatkan rakyat dari kegentingan korupsi dan pencucian uang!
Catatan Senyap Bekerjanya Kedaulatan Tuhan di Bumi Pertiwi
Skenario Tuhan itu Mahahalus, lembut lagi Mahasempurna. Nyaris tidak ada yang menerka kecuali atas izin-Nya. Bahkan, lepas dari prakiraan intelijen secanggih manapun.
Di negara penganut Kedaulatan Tuhan, kekuasaan dan otoritas tertinggi pada Ilahi. Hak Langit. Manungso sak dermo nglakoni. Pada dinamika bangsa dimaksud, sebagian rakyatnya hampir tak menyadari bahwa banyak peristiwa terjadi akibat skenario-Nya, Yang Maha Lembut. Bukankah daun jatuh pun sudah tertulis di sana (Lauh Mahfudz)?
Siapa sangka, penganiayaan Mario terhadap David ialah ‘kotak pandora’ dari berbagai pencucian uang (money laundry) di jajaran Kemenkeu cq Ditjen Pajak, dan kuat diduga merugikan keuangan negara hingga ratusan triliuan rupiah.
Siapa mengira, akibat ulah Mario, anak dari Rafael Alun Trisambodo (RAT), berimbas lengsernya RAT dari jabatan lalu ia menjadi target KPK. Termasuk Kepala Bea Cukai Jogja, Makassar dan lain-lain dicopot gegara pamer hedonisme di ruang publik. Sekali lagi, skenario-Nya tak teraba siapapun.
Uniknya, kasus Mario —selaku jalan pembuka— malah meredup di publik. Sebaliknya, dampaknya justru menjalar kemana-mana. Mirip snowball process. semakin lama kian besar lagi meluas.
Siapa bisa memprediksi, bahwa isu Mario akhirnya menguak 134 pegawai pajak yang memiliki saham di 280 perusahan, dan 480 pegawai Ditjen Pajak diduga terlibat money laundering ratusan triliun.
Ya, siapa pula mengira kasus penganiayaan David oleh Mario mampu membuka kedok Menkeu SMI merangkap 30 jabatan, sedang UU 39/2008 tentang Kementerian Negara, khususnya Pasal 23 tidak membolehkan (Menteri dilarang merangkap jabatan).
Hari ini, kita memasuki era yang nitizen bilang: “No viral, no justice“. Kenapa?
Mari flashback sejenak perihal clue di catatan ini. Bahwa konstitusi kita/UUD 1945 Naskah Asli itu menganut ‘tiga kedaulatan sekaligus’ yakni Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara. Betapa cerdas, bijak dan visionernya The Founding Fathers kita, memagari konstitusi negeri ini dengan tiga kedaulatan dalam satu tarikan napas.
Singkat narasi, meski Kedaulatan Rakyat telah dibajak kaum reformis terutama pada amandemen UUD 1945 ke-4 di tahun 2002 dengan cara mengubah kedudukan MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara, hal ini berdampak di setiap upaya mengubah secara fundamental terhadap konstitusi guna menyikapi lingkungan bergerak serta merespon isu-isu strategis, selalu berujung buntu. Deadlock. Namun, negeri ini masih memiliki dua kedaulatan lain yakni Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Negara.
Terkait terbukanya beberapa kasus di Ditjen Pajak tadi, bahwa di atas permukaan memang muncul slogan mbeling para nitizen: ‘no viral no justice‘, namun slogan dimaksud sekadar cover belaka. Hanya ‘tampak atas’ saja. Bahwa terkuaknya berbagai kecurangan di jajaran Kemenkeu, tak lepas dari kerja senyap Kedaulatan Tuhan di bawah permukaan. Sepi ing pamrih rame ing gawe, ora kethok nyambut gawene ning hasile gede.
Jadi, kendati Kedaulatan Rakyat telah dibajak kelompok reformis (gadungan), ternyata republik ini masih bersemayam Kedaulatan Negara pada konstitusi, dan Kedaulatan Tuhan itu ada (being), nyata (reality) dan berada (existance).
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
Bagaimana mungkin sebuah negeri kaya sumber daya alam (SDA) akan jatuh miskin, sedang keberadaan (kelahiran)-nya atas berkat rahmat Yang Maha Kaya?
Namun, bisa saja negeri kaya SDA tadi menjadi miskin semiskin-miskinnya bila rahmat Tuhannya dicabut. Ibarat balon, ia kempes karena anginnya lepas.
Nah, ilustrasi di atas, konteksnya adalah Kedaulatan Tuhan. Kekuasaan dan otoritas tertinggi bertumpu pada Ilahi. Aku sak dermo nglakoni;
Atau,
Ia —negara dimaksud— berubah paria tatkala dipimpin orang-orang tak amanah dan suka mengolok – olok Tuhan. Isuk delai sore tempe. Negeri itu akan jatuh melarat (padahal kaya raya) akibat perilaku korup para elit, misalnya, atau adigang adigung adiguno, sikap jumawa, sopo siro sopo insun.
Pada konteks ini, yang berlaku adalah kedaulatan konstitusi. Kekuasaan serta otoritas tertinggi pada konstitusi dan aturan turunannya.
Adakah korupsi menjadi peradaban pada suatu bangsa, lalu perilaku korup dianggap budaya serta menjadi kebiasaan berulang?
Jawabannya, “Ada!” Bahkan jumlahnya mungkin tak sedikit di muka bumi.
Dalam praktik (geo) politik kerap ditemui, selain sistem plutokrasi, contohnya, ataupun oligarki dst, terdapat pula sistem kleptokrasi. Ya. Kleptokrasi ialah sistem pemerintahan korup, didominasi individu atau kelompok yang menyalahgunakan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sistem ini biasanya menjangkit pada negara berkembang dan/atau negara gagal yang bergantung dengan SDA. Dalam kegiatan ekspor impor SDA, misalnya, itu salah satu bentuk rente ekonomi yang mudah dijalankan tanpa mengakibatkan pendapatan menurun. Mereka mengutip fee di depan baik ekspor – impor maupun aktivitas pajak dan ekonomi lainnya.
Atau, dampak dari high cost politics sehingga ketika si fulan duduk di takhta kekuasaan, maka kewenangannya ia pakai untuk balikin modal.
Rezim kleptokrasi cenderung melanggengkan sistem manipulatif pada satu sisi, sehingga perilaku koruptif memang diproduksi dan terproduksi melalui sistem itu sendiri; sedang di sisi lain, sebagian rakyat termanipulasi oleh citra, bahkan ‘jatuh cinta’ kepada kaum penjajah yang menindasnya. Klop. Dalam sistem koruptif, kerap kali terjadi pemujaan (kultus individu) sebagian rakyat terhadap para elit dan sosok tertentu yang sebenarnya tengah menipunya.
Maka, bangsa di negeri tersebut ibarat kodok sebagaimana digambarkan pada studi biologi tentang kodok dalam buku “The Winner Stands Alone”-nya Paulo Coelho, penulis novel dari Brazilia.
Adapun poin singkat studi tentang kodok tersebut, narasinya sebagai berikut:
Narasi ke-1: “Jika seekor kodok ditaruh dalam panci berisi air kolam, kemudian airnya dipanaskan secara perlahan, ia akan tetap bertahan dalam panci. Kodok itu tidak bereaksi terhadap meningkatnya suhu dalam panci serta diam saja atas perubahan sekeliling. Ketika air mendidih, kodok pun mati dalam keadaan gendut dan bahagia”;
Atau,
Narasi ke-2: “Ketika kodok tersebut dicemplungkan dalam sepanci air mendidih, niscaya langsung bereaksi. Ia melompat keluar dengan kulit terkelupas, tetapi tetap hidup”.
Nah, meningkatnya suhu dan perubahan lingkungan di sekeliling kodok pada (analog) narasi ke-1, dalam realitas geopolitik disebut dengan istilah isu dan/atau lingkungan strategis yang bergerak (dan berubah). ‘Peningkatan suhu dalam panci’. Isu dimaksud ialah perubahan lingkungan strategis baik global, regional maupun lokal/nasional yang mutlak harus disikapi sesegera mungkin.
Sedang analog (narasi ke-2) contohnya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Rakyat langsung bereaksi cepat ketika terjadi upaya pendudukan oleh kelompok negara kolonialisne. Memang berdarah-darah serta banyak korban, namun bangsa ini (selamat) lepas dari penjajahan.
Dalam hal isu bergerak, jika tanpa antisipasi cepat lagi akurat atas perubahan lingkungan, cenderung membuat si kodok terlena. Ia berendam terus di panci yang suhunya kian lama mendidih, dan akhirnya mati dalam keadaan gendut seolah-olah ‘mati bahagia’ padahal mlocot. Mengenaskan.
Solusi agar tak terdadak, seyogianya setiap bangsa memiliki instrumen fleksibel yang dilekatkan dalam konstitusi guna menyikapi keniscayaan perubahan, bukan malah menutup diri (melalui konstitusi) atas perubahan yang terjadi. Itu keliru besar. Big blunder.
Beberapa istilah berkembang di publik memotret amandemen empat kali UUD 1945 (1999, 2000, 2001 dan 2002). Ada yang menganggap kudeta konstitusi; ada yang menyebut sebagai bunuh diri massal ala reformasi; ada pula pandangan bahwa amandemen UUD 1945 dinilai sebagai ‘sikap menutup diri’ atas perubahan isu dan lingkungan strategis (justru melalui konstitusi). Sontoloyo. Terutama amandemen ke-4 (2002), ketika kaum reformis mengubah status MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara. Sekali lagi, inilah big blunder bangsa ini cq kaum reformis (gadungan). Sebuah kesalahan besar dalam perjalanan bangsanya.
Mengapa begitu?
Akibat downgrade dan perubahan kedudukan MPR menjadi lembaga tinggi, gilirannya — setiap sikap responsif guna menyongsong perubahan selalu menemui jalan buntu alias deadlock. Padahal, perubahan ialah keniscayaan.
Ya. Ketika kedaulatan rakyat dibajak, dan MPR —penjelmaan rakyat— menjadi lembaga tinggi selevel BPK, DPR, Presiden, MK dan lain-lain, maka negeri ini tidak lagi memiliki ‘pucuk piramida’ kekuasaan. Semua lembaga negara sifatnya flat. Setara.
Pertanyaannya, lembaga mana akan memimpin perubahan jika MPR tidak lagi berwenang menerbitkan Ketetapan/TAP yang sifatnya regeling alias mengatur guna menyikapi perubahan?
Jawabannya: “Tidak ada, alias nihil”. Jadi, tatkala ada wacana jabatan presiden diubah menjadi tiga periode karena program infrastruktur tak cukup waktu dalam dua periode, alhasil berujung gagal. Isu perubahan tak terakomodir. MK menolaknya sebab tidak ada aturan dalam konstitusi, dan MPR tidak lagi berwenang mengatur via TAP-nya;
Atau, ingin perpanjangan waktu masa jabatan presiden, ini diprakirakan bakal menuai kegaduhan. Lagi-lagi, selain wacana perpanjangan waktu melanggar konstitusi, mengada-ada, juga nyaris semua partai politik menolak. Jadi, entah lewat ‘jalan tikus’ manapun, dipastikan buntu. Ada portal menganga di depan mata.
Satu-satunya jalan mutlak harus kembali ke UUD 1945 karya agung The Founding Fathers.
Tanpa tahapan kembali ke UUD Naskah Asli dan mengembalikan kedaulatan rakyat (MPR balik menjadi Lembaga Tertinggi Negara), maka bangsa ini ibarat kodok yang melompat-lompat di sekitar sumur. Terlihat asyik dan dinamis di atas permukaan, namun sejatinya jalan di tempat, sementara perubahan terus berjalan, jauh meninggalkan kodok dan sumurnya.
Siapapun. Entah GP Mania, Ganjarian, dan lain-lain, mereka adalah kelompok buzzer. Kumpulan orang yang diorganisir untuk meng- endorse, mendukung, serta melambungkan seseorang (objek) supaya ngetop dan dikenal publik. Sasarannya tak lain, agar si objek yang di- endorse memiliki elektabilitas tinggi di masyarakkat terkait konstelasi politik yang sedang berlangsung.
Lazimnya para buzzer dalam menjalankan misi si tuan menggunakan ‘kacamata kuda’. Tak peduli cara yang ditempuh keliru, hoax, ataupun menyalahi adab, yang penting sasaran tercapai. Hampir segala cara dijalankan. Doktrin lazim yang dianut kelompok ini ialah ‘ketika tulang ada di mulut anjing, kebenaran hanya dari mulut tuannya’.
Makanya era kini, kerap kali disebut post truth. Sebuah masa di mana kebenaran informasi diletak pada urut kesekian, sedangkan ‘kebohongan’ diframing sedemikian rupa seolah-olah kebenaran. Inilah era pembenaran alias post truth yang konon dimulai sejak serbuan koalisi militer Barat pimpinan Amerika Serikat ke Afghanistan tahun 2001-an atas nama War on Terrorism.
Mereka —para buzzer —menyalak dan saling bersaut-sautan di ruang publik dalam rangka membentuk opini agar sesuai keinganan si tuan. Dan atas kerja tersebut, mereka memperoleh imbalan atau kompensasi. Kalau di dunia militer terdapat tentara bayaran, di dunia maya, itulah mereka. Jadi, kalau dibilang relawan, itu hanya eufemisme. Penghalusan kata belaka. Lebih tepat jika mereka dinamai ‘pamrihwan’. No free lunch. Tidak ada makan siang gratis di dunia politik praktis. NPWP. Nomer piro, wani piro?
Buzzer kini menjadi ‘industri’ yang memproduksi komoditas (isu-isu) post truth, black campaign, dan lain-lain. Seiring konstelasi politik menjelang pemilu, misalnya, kelompok ini akan tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Mereka bukan partai politik, namun sering kali power-nya bisa sejajar dengan partai. Bahkan usai konstelasi pemilu, ada yang nekat membentuk partai politik berbasis jaringan buzzer.
Sungguh unik, ketika dinamika politik semakin mengerucut, tetapi GP Mania kok justru membubarkan diri. Ini fenomena asyik lagi menarik untuk dicermati. Ada apa gerangan?
Beberapa hipotesa muncul terkait pembubaran GP Mania, antara lain:
1. Apakah dukungan logistik sudah tersendat, bahkan tidak menetes lagi;
2. Adakah power di atas objek yang didukung justru menyuruh mereka menghentikan endorsement;
3. GP dipersepsikan sebagai capres tak potensial karena hingga kini belum ada sinyal-sinyal ia didukung PDI-P, atau partai lainnya;
4. Kebangkrutan peran ‘relawan’ (buzzer) dalam Pemilu 2024, dalam arti — semakin cerdasnya publik/nitizen. Dan buzzer kini bukan lagi kekuatan independen yang sejajar dengan partai;
5. Lazimnya kelompok buzzer memiliki ‘mentor’ ataupun bohir yang mengarahkan dan memproduksi isu-isu (‘komoditas’), atau tema gerakan. Bohir juga bisa semacam backing. Dan sang mentor-lah yang punya jaringan luas dengan entitas lain. Nah, pada isu pembubaran GP Mania ini atas instruksi si bohir alias mentor.
Inilah lima asumsi dan/atau hipotesa yang terbaca dengan bubarnya GP Mania.
Tidak ada maksud menggurui apalagi menyinggung para pihak yang keciprat tulisan ini. Mohon maaf. Juga bukan kebenaran, tak pula pembenaran. Hanya sharing uneg-uneg hilir hasil obrolan di warung kopi.
Selain Pak Jokowi dan Bu Mega dianggap King/Queen Maker, itu jelas, Jokowi selaku Presiden dan Megawati selaku ketua umum the ruling party. Dalam perjalanan, sepertinya Surya Paloh (SP) ‘ternobatkan’ pula sebagai The New King Maker dalam dinamika politik (menuju) 2024.
Nah, ‘penobatan’ SP selaku King Maker cukup menarik. Memang tidak ujug-ujug, karena ada proses yang cukup spektakuler. Namun, bukan semata-mata pencapreskan Anies yang konon ‘antitesa’-nya Jokowi, sedang selama ini ia duduk di lingkar (koalisi) istana. Muncul beberapa konsekuensi serta risiko. Beberapa kader senior NasDem undur diri, atau terpaan isu reshuffle kabinet bagi tiga menterinya; bukan pula faktor keberanian tampil beda di antara partai koalisi istana. Tetapi, prakarsa SP dalam jalinan antarpartai, manuver ke elit-elit lainnya, bahkan geliat lintas koalisi yang membuat peta politik total berubah. Publik tercengang atas manuvernya. Apa boleh buat. Perkembangan politik memang fluktuatif lagi sulit ditebak. Maka bagi khalayak awam, mereka sering tersesat tatkala mengikuti jejak langkah para elit politik.
Sebelum SP dipanggil istana, ia sudah bertemu dengan LBP. Terus (romantisme) ke Golkar, hari ini menguatkan derap Koalisi Perubahan karena PKS dan Demokrat sudah satu suara soal pilihan capres. Entah esok apalagi.
PDI-P dan Gerindra masih dalam penjajakkan. Bukan apa, seandainya ke Gerindra pun — publik akan memaklumi, karena dulu satu sumber (Golkar). Namun, tatkala SP hendak ke PDI-P, maka perhatian publik menyoroti ‘zig-zag‘-nya SP yang cenderung tak lazim. Nonmainstream.
Tampaknya, ajian ‘sekali layar terkembang, surut kami berpantang’ cukup menggelegar di genggam SP. Pertanyaannya adalah, kemana ajian tadi akan berpantang serta berlabuh; berpantang membatalkan pencapresan Anis, atau berlabuh kembali di KIB dan istana? Lagi-lagi, di titik ini para follower kerap kehilangan jejak.
Tak boleh dipungkiri, zig-zag SP meninggalkan kesan kuat bahwa Prabowo sebagai capres dianggap masa lalu, kenapa? Ada persepsi berkembang bahwa pendukung Prabowo di pilpres 2019 telah berpaling ke Anies. Apapun alasannya. Khalayak tidak mau tahu. Dua kandidat di-branding mencuat: Anies dan Ganjar. Memang. Selain kedua calon di atas plus Prabowo, belum terlihat kandidat lainnya. Meski jika head to head melawan Prabowo, belum tentu Ganjar atau Anies yang unggul. Namun kontruksi politik hari ini, sepertinya mengarah ke Ganjar di koalisi, serta Anies pada pihak ‘oposisi’.
Di 2024 nanti, peran cawapres tidak sekadar pemanis. Kandidat cawapres tidak kalah urgen. Ia harus jadi pendulang suara baru terutama kaum milenial, emak-emak, dan khususnya umat mayoritas. Itu idealnya. Dan tak pelak, apabila keliru memilih cawapres bisa kontra produktif, para pemilih terutama pemula bisa lari menjauh.
Isu menguat, Ganjar akan dipasangkan dengan Erick pada 2024. Ini arus besar lagi kuat. Di mata oligarki, pasangan tersebut diyakini akan melanjutkan program Jokowi yang belum tuntas. Itu awal agenda besar. Makanya gambar Erick ada dimana-mana. Selain terpampang di hampir semua bandara, tik-tok dan gerai lainnya, ia juga diNU-NU-kan guna menarik suara muslim.
Cawapresnya Anies pun —bila ia lepas dari ‘jerat’ Formula E— nantinya bukan berasal dari PKS atau Demokrat. Kudu sosok yang mampu mendulang sumber (suara) lain.
Adanya upaya menyatukan Anies dengan Khofifah, disinyalir hanya untuk memecah suara Prabowo bila muncul tiga pasangan calon. Tak lain, agenda Pemilu 2024 memang ‘melanjutkan infrastruktur Jokowi’. Asumsi ini, apakah berarti Ganjar dan Anies mudah diatur, dan Prabowo agak susah diatur?
Yang menarik, hingga kini capres PDI-P masih belum disampaikan ke publik kendati sudah di saku Bu Mega. Entah kenapa. Disinyalir ‘jurus mabuk’ SP telah mengubah skenario 2024. Para elit kembali menghitung dan berhitung ulang.
Plan A (Jokowi tiga periode) contohnya, sekarang bubar ketika terbit Keputusan MK yang menganulir pencawapresan Jokowi pada 2024. Mustahil. Dan gelaran Pemilu 2024 itu hanya sekadar Plan C —alternatif terakhir— dengan catatan: ‘kandidat pilihan oligarki pasti menang’.
Ketika manuver NasDem via pencapresan Anies menjungkirbalikkan skenario 2024. Plan B sebagai skenario harus diwaspadai, apa itu? Yaitu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Ya. Penundaan Pemilu dapat dilaksanakan lewat Perppu dengan pertimbangan kegentingan memaksa atau ‘dipaksakan’. Meski bakal timbul gejolak, kemungkinan hanya bersifat elitis seperti Perppu Cipta Kerja. Tetapi, perpanjangan masa jabatan presiden bakal mengalami deadlock. Macet. Mengapa? Perppu tak kuat untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Tidak ada dalam konstitusi. Yang berhak dan berwenang adalah Ketetapan/Tap MPR. Namun bukan Tap MPR versi UUD NRI 1945 alias UUD 2002. Sebab, MPR kini sudah berubah menjadi Lembaga Tinggi selevel BPK, MA, DPA dan lainnya. Tap MPR dimaksud —yang bisa memperpanjang jabatan presiden— adalah produk MPR selaku Lembaga Tertinggi karena bersifat regeling atau mengatur.
Sekali lagi, jika Plan B yang akan digelar, kemungkinan akan diterbitkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 Naskah Asli (sebelum amandemen) guna mengembalikan status MPR sebagai Lembaga Tertinggi, puncak piramida dalam konstitusi.
Inilah hasil obrolan di warung kopi. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten. Hanya sekadar sharing gagasan dan wawasan. Tak lebih.
Dalam menulis, apalagi mengkaji, menelaah, atau menganalisa — kita mesti ‘telanjang’. Sekurang – kurangnya, menjauh dari kegaduhan jika objek tulisan tengah viral dan timbul kontroversi di publik. Ya. Tinggalkan subjektivitas di belakang melainkan perspektif di depan.
Berbasis pengalaman, sebaik-baiknya perspektif ialah filsafat. Selain ia —filsafat— dianggap ‘ibu’ dari ilmu segala pengetahuan, juga dalam diskusi, filsafat kerap melewati ‘tiktok logika’ dengan mempertanyakan jawaban, bahkan mempertanyakan pertanyaan, hingga terpetik poin-poin maksimal.
Kalau dibawa dalam kontemplasi, contohnya, filsafat cederung mencari cinta dan kebenaran. Bagaimana cintamu dianggap suci, sedangkan kamu tak punya program apa-apa; bagaimana disebut kebenaran jika langkahmu tidak sesuai petunjuk? Itu pertanyaan-pertanyaan di ujung dalam mencari cinta dan kebenaran. Dan konon, kebenaran filsafat itu di bawah laduni. Kebenaranan langit. Petunjuk-Nya.
Selanjutnya sebaik-baiknya sisi pandang selain filsafat, saya lebih memilih geopolitik sebagai pisau bedah. Kenapa? Sebab, lazimnya dinamika organisme siapapun cenderung meraih apa yang disebut (geo) ekonomi dalam hidup serta kehidupan. Dimanapun, kapanpun — entah individu, kelompok, entitas, terutama negara-negara akan berlomba mencari (geoekonomi)-nya. Hal-hal yang kerap dikemas dengan istilah national interest alias kepentingan nasional, dimana secara umum ialah kepentingan keamanan (security) dan kepentingan kesejahteraan (prosperity). Dan memang, jika merujuk filosofi Tata Tenteram Kerta Raharja, keamanan adalah kulit luar dari kesejahteraan. Damai itu indah, aman itu sejahtera.
Bila berdasar mapping geopolitik, kepentingan nasional tiap-tiap negara itu berbeda, namun benang merahnya nyaris sama yakni meraih water, food and energy (air bersih, pangan dan energi). Dalam operasional geopolitik di negara manapun — niscaya ada gap menganga antara geopolitik dan geoekonomi kecuali negara autarki atau negeri swasembada (self sufficiency). Amerika Serikat misalnya, ketika produksi minyaknya cuma bisa memenuhi 40% kebutuhan domestik, maka kekurangannya (60%) harus dicari keluar. Nah, langkah ‘pencarian keluar’ ini memunculkan apa yang disebut dengan istilah geostrategi. Jadi, urut-urutannya ialah geopolitik – geostrategi – geoekonomi. Jangan dibalik, jangan terbalik.
Perang apapun di dunia, itu cuma tema/agenda alias geostrategi. Apapun istilahnya. Sedangkan skema dan tujuannya adalah geoekonomi: water, food and energi. Atau istilah dahulu adalah gold, glory and gospel, contohnya, atau rempah-rempah, nikel, ataupun rare earth dan lainnya tergantung komoditas unggulan pada masanya.
Singkat narasi, secara geospiritual, bahwa 2023 Masehi (tahun 3 M) merupakan ‘tahun penyakit’. Makna penyakit ialah, barang (olo) kang metu. Sesuatu yang buruk keluar. Nyaris semua aib dan kecurangan (barang olo) terkuak. Di tahun itu, entah aib pribadi, kelompok, maupun aib entitas yang lebih besar akan muncul di permukaan kecuali ditutupi-Nya.
Dalam hitungan waktu, baik kecurangan masa lalu, masa kini, ataupun kecurangan yang masih dalam perencanaan pun tersibak. Luar biasa. Kasus Ketua KPU dan Wanita Emas ialah permulaan (contoh) kecil, selain barang olo kang metu jelang 2023 —jab-jab ringan— juga perencanaan kecurangan keprucut lewat cakap-cakap ‘bobok siang’.
Di tahun penyakit nanti, merebak public distrust terhadap sistem dan aturan (rezim) terutama dalam konteks good governance clean government.
Awalnya kecil. Riak-riak belaka, lama-lama membesar lagi meluas. Ini terlihat pada kekecewaan, frustrasi, dan amarah publik. Tunas-tunas civil disobedience alias pembangkangan sipil mulai bersemi. Di sana-sini berserak isu bahwa rakyat menginginkan perubahan. Opini menggelembung. Bukan cuma (perubahan) ganti rezim, namun arus kencang justru ingin ganti sistem. Rakyat semakin paham, bahwa hulu persoalan bangsa bercokol di sistem politik alias konstitusi. Inilah potret umum pada 2023 dari perspektif geospiritual.
Kelak bila masa atau waktu memasuki 1445 Hijriyah (tahun 5 H), itu yang dinamai ‘tahun api’. Tak boleh dielak, api adalah lambang semangat/jìhad/spirit yang tidak kunjung padam. Sifat api itu menjilat, menjalar dan membakar. Dalam tahun api, kondisi rakyat mudah dihasut. Cepat marah. Sekali dipercik barang kang olo, api (marah dan amuk) pun berkobar.
Flashback sejenak. Bisakah Anda bayangkan situasi tahun 194(5) dan 196(5) di republik tercinta yang notabene ialah tahun api? Tak berharap seperti itu. Semoga Dia, Allah, tempat segala sesuatu bergantung kepada-Nya memberi hal terbaik kepada bangsa dan negara ini.
Tidak dapat digambar lewat kata-kata. Poin intinya, bahwa di tahun tersebut segala penyakit (olo) yang dikerjakan kaum imperialis dan golongan kiri —waktu itu— pun terbakar dan hangus dibakar massa. Musnah. Hanya tersisa cerita serta puing-puing diselimuti abu.
Nah, memasuki 19 Juli tahun 2023 nanti, inilah epicentrum dan titik tabrak antara tahun penyakit (3 M) dengan tahun api (5 H). Mungkin, dahsyatnya tak terkira. Begitu percik barang olo meletik, api pun menyambar, menjalar serta melalap apa yang ada. Tak hanya di satu tempat, atau di beberapa daerah saja, nyaris di seluruh wilayah. Api berkobar sulit dipadamkan. Vivera pericoloso.
Kita meloncat ke lingkungan strategis, meninggalkan situasi hangat di tingkat lokal.
Ya. Jangan dikira, konflik Ukraina akan mereda di tahun 3 dan 5 ini. Justru sebaliknya, konflik Rusia versus Ukraina semakin menggila. Segala kecanggihan teknologi perang diuji-cobakan oleh para pihak kecuali senjata nuklir. Selain menjadi lapangan tempur (proxy war), Ukraina juga berubah menjadi neraka dunia. Kasihan rakyatnya. Korban terus berjatuhan, tak terhitung. Pengungsi terus bertambah.
Dan konon, ‘gas weapon’-nya Rusia dioptimalkan oleh Putin sehingga berdampak krisis energi super-akut di kelompok negara North Atlantic Treaty Organization (NATO) —kelompok negara yang tergantung gas Rusia— kecuali beberapa negara yang ‘berdamai’ dengan Rusia seperti Belanda, dan lainnya. Tidak hanya krisis energi, krisis pangan pun tidak kalah dahsyat. Makanan langka. Krisis finansial bukan sekedar inflasi namun cenderung stagflasi. Ini juga berimbas ke Inggris dan Amerika (AS). Inflasi meroket, ekonomi melambat bahkan kontraksi, pengangguran merebak. Demonstrasi warga marak menuntut kinerja elit penguasa mengantisipasi krisis yang terjadi.
Diprakirakan, proxy and hybrid warfare di Ukraina akan terus berlangsung hingga 2024 bahkan lanjut. Entah sampai kapan. Silakan dicermati. Selama berlangsung konflik Ukraina maka krisis global yang berupa krisis energi dan pangan, krisis finansial, dan lain-lain niscaya terus menghantui negara-negara di dunia kecuali kelompok negara autarki, mandiri dan self sufficiency (swasembada).
Demikian gambaran keadaan ketika tahun penyakit dan tahun api bertemu dalam satu garis edar. Tak ada maksud menggurui siapapun, apalagi pihak yang berkompeten. Hanya sharing informasi di tahun 2023 berbasis geopolitik dan geospiritual.
Inilah era, kata Menteri Nadiem Makarim, bahwa gelar tidak menjamin kompetensi; kelulusan tidak menjamin kesiapan karya; akreditasi tidak menjamin mutu; masuk kelas namun tidak menjamin belajar. Lantas, apa peran serta keberadaan negara cq Kementerian Pendidikan apabila kredo sang menteri seperti itu? Tetapi, ini hanyalah prolog dari catatan kecil di ujung 2022.
Agaknya, mulai ada ketidakpercayaan bahkan persepsi elit kekuasaan atas diksi ‘menjamin’ di satu sisi, timbul pula distorsi frasa —khususnya diksi: ‘menjamin’— pada sisi lain. Bagaimana dengan persepsi publik?
Jaminan negara hadir dalam koridor nation state (negara bangsa) dimana negara merupakan satu-satunya alat bagi rakyat guna menggapai tujuan dan cita-cita bersama, justru terdistrosi. Ada pergeseran makna. Dalam hal keamanan dan bencana, misalnya, negara mampu hadir optimal melindungi warga kecuali di daerah-daerah tertentu seperti Papua contohnya. Akan tetapi, pada bidang kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Merujuk prolog di atas, inilah era bingung alias kebingungan. Lalu geopolitik pun berjalan linglung.
Wong bingung, kata leluhur, itu akibat tidak kenal diri. Tak tahu siapa sejatinya diri. Dalam konteks lebìh besar lagi strategis, bangsa yang tidak paham (geopolitik) negeri sendiri identik tak kenal diri. Pada akhirnya, kebijakan politik yang harusnya berbasis geo/tanah/bumi, misalnya, malah (kebijakannya) menimbulkan ironi di sana-sini. Betapa negeri agraris dengan curah hujan tinggi kok impor rempah dan kacang – kacangan yang berlimpah pada tanahnya; lho, negeri dua musim dengan pantai terpanjang kedua di dunia kok malah impor garam, ikan, dan lainnya; bangsa yang memiliki demokrasi musyawarah mufakat (local wisdom) kok justru mengimpor demokrasi liberal (one man one vote)? Inilah yang kini berlangsung. Geopolitik bingung. Sekali lagi, era pun linglung. Maka, akibat tak kenal diri dan bingung, gilirannya muncul rasa tidak percaya diri.
Pertanyaan menggelitik timbul, “Apakah yang akan terjadi di sebuah bangsa yang tidak percaya pada diri sendiri?”
Bagi bangsa tidak percaya diri akibat tak kenal diri —secara filosofi— apa-apa yang dikerjakan ibarat fatamorgana. Dikiranya atau terlihat berlimpah air (kemakmuran) dari kejauhan namun ketika didekati ternyata nihil. Tak ada apa-apa. Retorikanya, apakah semua program yang dikerjakan hari ini nantinya berujung fatamorgana buat rakyatnya? Sebuah retorika memang tidak untuk dijawab agar catatan ini bisa dilanjutkan.
Tak dapat dinafikan, bahwa di penghujung 2022 menyisakan fluktuatif isu internal di tengah lingkungan strategis yang bergerak, khususnya konflik Ukraina beserta efeknya. Dan isu-isu internal tadi dipastikan mempengaruh konstelasi politik 2023 di Tanah Air, antara lain adalah:
Isu Ke-1: apakah akan digelar Pemilu 2024, atau Pemilu ditiadakan dengan berbagai dalih dan alasan?
Isu Ke-2: apakah perpanjangan waktu jabatan, atau penambahan periodesasi jabatan presiden melalui Amandemen Ke-5 UUD 1945 jadi dijalankan?
Isu Ke-3: adakah diterbitkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli?
Isu Ke-4: persaingan para kandidat capres/cawapres semakin memanas; dan
Isu Ke-5: munculnya isu lain tidak terduga, namun masih terkait perpanjangan baik periodesasi jabatan presiden ataupun waktu; wacana Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD naskah asli, dan lain-lain.
Ya. Kelima isu di atas saling berkelindan satu sama lainnya memenuhi ruang dan waktu. Lalu, prakiraan kondisi semacam apa yang mewarnai tahun 2023 nanti?
Situasi dan kondisi 2023 terutama dinamika sosial politik, niscaya berbahan bakar lima isu di atas. Dan hasil pergumulan di 2023 akan menjadi rujukan penting untuk mendasari keputusan politik pada 2024. Entah perpanjangan waktu dan/atau diubah menjadi tiga periode; atau terbit Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli dalam rangka melaksanakan Pilpres melalui MPR; ataupun muncul isu lain di luar skenario yang ada?
Itulah sekilas gambaran situasi di Tahah Air pada 2024 dari perspektif (geo) politik.
Pertanyaannya kini, “Bagaimana prakiraan kondisi 2023 dari sudut (geo) spiritual?”
De-development artinya pembangunan yang belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ciri de-development adalah kesejahteraan rakyat stagnan, bahkan berkurang meski ada pembangunan infrastruktur. Ini kata Prof Arief Anshory Yusuf, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.
Atas nama pembangunan, seolah-olah ada pembangunan infrastruktur transportasi canggih, tetapi tidak ada maknanya. Kesejahteraan justru turun, safety malah memburuk, kata Guru Besar Unpad tersebut. Karena itu, pembangunan kereta cepat juga harus mempertimbangan inklusivitas.
Pembangunan yang baik, bukan semata meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengaplikasikan kecanggihan teknologi, tetapi yang jauh lebih penting adalah memberikan pemerataan.
Masih menurut Prof Arief, pengoperasian Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dengan tiket lebih mahal dan menutup layanan KA Argo Parahyangan yang murah, akan sulit memberikan pemerataan, terutama bagi masyarakat yang memiliki anggaran terbatas. Tak semua orang mampu merogoh kocek lebih banyak untuk membeli tiket KCJB (7/12/2022).
Biarlah masyarakat sebagai konsumen untuk memilih moda transportasi yang akan mereka gunakan. Bila betul nanti kereta cepat jauh lebih baik dari kecepatan dan keterjangkauan, maka konsumen akan beralih secara alamiah. Jangan terburu-buru kalau belum jelas terbukti. Kebijakan jangan hanya berbasis asumsi.
Itu pendapat kritis dari profesor ekonomi dari Unpad, Bandung, tentang de-development dengan mengambil sampel KCJB yang tengah diterpa ‘beberapa masalah’ dalam proses pembangunannya.
Dari perspektif asymmetric war atau perang asimetris ternyata beda lagi, bahkan lebih seru meskipun semuanya proyeksi serta prakiraan keadaan di masa depan.
Secara lebih detail, dari asymmetric war alias perang nirmiliter yang berpola ITS (isu – tema/agenda – skema), apabila pengoperasian KCJB didudukkan sebagai ‘isu’ atau sekedar pintu pembuka, maka secara fiksi, ‘tema’ alias ‘agenda’ yang dapat dibaca adalah sebagai berikut:
Agenda ke-1: mengubah fungsi Kereta Api (KA) Parahyangan dari angkutan penumpang menjadi KA Ekspedisi/Barang;
Agenda ke-2: menutup rute penerbangan Bandung – Jakarta dan sebaliknya dengan menghapus jadwal penerbangan di Bandara Husein Sastra Negara serta bandara-bandara lainnya; dan
Agenda ke-3: operasi senyap guna cipta kondisi ‘kemacetan lalu-lintas’ di jalan tol Jakarta – Bandung, dan sebaliknya.
Nah, ketiga agenda di atas dapat dilakukan secara bergantian, atau berurutan, ataupun simultan dengan intensitas berbeda. Sasarannya tak lain untuk mengubah ‘pasar penumpang’ jalur Jakarta – Bandung dan sebaliknya, agar mau tidak muka, suka atau tidak suka, beralih ke kereta cepat daripada menggunakan moda transportasi lainnya.
Merujuk ITS di atas, lantas apa ‘skema’ (tujuan akhir)-nya?
Tercium skema meski samar-samar, bahwa hidden agenda atau tujuan asymmetric war yang hendak diraih ialah:
Pertama, menggiring penduduk di sekitar kiri-kanan jalur tol Jakarta – Bandung agar menjual tanahnya, dan selanjutnya dibeli oleh para pengembang;
Kedua, didirikan properti/kompleks hunian dan pertokoan sekelas Pantai Indah Kapuk (PIK) misalnya, atau Bumi Serpong Damai (BSD), dan lainnya di setiap titik pemberhentian di jalur kereta cepat Jakarta – Bandung.
Pertanyaan muncul, “Kenapa yang dibangun KCJB, bukannya rute Jakarta – Surabaya yang lebih padat?”
Tak boleh dipungkiri, selain rute Jakarta – Bandung tidak terlalu panjang, cukup layak sebagai test case, juga Sunda adalah suku terbesar kedua setelah Jawa. Kuat diduga, hal ini merupakan modus penguasaan (kolonialisme) pada tahap pertama. Dan jika berhasil (penguasaan suku Sunda), barangkali tahap kedua adalah suku Jawa melalui rute Kereta Cepat Jakarta – Surabaya.
Itulah penjajahan gaya baru yang digelar oleh China melalui modus asimetris. Nirmiliter. Tanpa letusan peluru, bangsa yang ditarget bisa ‘tunduk’ pada hegemoni si penjajah melalui kebijakan dan debt trap alias jebakan utang.
Akan tetapi, sungguh unik bahwa para elit politik dan perumus kebijakan justru ‘jatuh cinta’ kepada penjajah. Bahkan dianggap sebagai dewa penolong karena faktor investasi dan gelontoran utang, ataupun dianggap negeri sahabat. Inilah fenomena stockholm syndrom di Bumi Pertiwi.
Dan agaknya, virus stockholm syndrom ini semakin lama kian meluas di berbagai lapisan sosial, bahkan kemungkinan juga melembaga dalam sistem dan aturan —rezim— dan hingga hari ini, belum ditemukan obat dan vaksin mujarab untuk mengatasi virus tersebut melainkan (mungkin) pemahaman dan kesadaran akan geopolitik.
Demikianlah fiksi geopolitik dinarasikan. Namanya juga fiksi. Bisa realitas, bisa hanya ilusi. Maklum. Imajinasi ini berkembang akibat fakta-fakta yang berubah menjadi asumsi meski belum dilakukan penelitian serta kajian secara mendalam.
Tak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten melainkan hanya sharing uneg-uneg berbasis fiksi geopolitik.
Lompatan pemikiran itu bukan sekadar out of the box, tetapi buah pikir berjangkau (jauh) ke depan —melampaui zaman— berbasis fakta, data dan informasi. Kalau tanpa rujukan, namanya ‘ngramal‘ atau istilahnya: kirduk (perkiraan dukun).
Ya, lompatan pikiran dalam ilmu manajemen disebut: “Visioner”. Di sastra Jawa dikenal sebagai: “Jangkane zaman” alias waskita. Singkat ulasannya begini, ketika publik masih sibuk mendefinisikan atau menganalisis suatu isu, misalnya, ia (lompatan pikiran) sudah menyimpulkan bahkan mengevaluasi apa yang menjadi pikiran publik.
Doeloe, ketika Fir’aun dibisiki oleh ahli nujum (strategi)-nya, bahwa kelak ada pemuda yang bakal menghancurkan kekuasaannya. Seketika, Fir’aun mengeluarkan perintah biadab yakni agar setiap bayi laki-laki yang lahir wajib dibunuh. Pilihan tindakan itu merupakan upaya antisipasi agar kekuasaannya tetap langgeng. Itulah salah satu ujud lompatan pemikiran di zaman bahula oleh ahli strategi di sekeliling Fir’aun.
Namun atas lindungan-Nya, bayi Musa lolos dari pembantaian massal tentara Fir’aun, bahkan Musa (kecil) diasuh permaisuri di istana raja. Akhirnya, lompatan pikir si ahli nujum terbukti. Atas petunjuk-Nya, Musa mampu menghancurkan Fir’aun melalui cara ditenggelamkan di laut.
Demikian pula John Adams, founding father Amerika Serikat (AS). Presiden ke-2 AS ini, buah pikirnya yang melampaui zaman ialah:
“Ada dua cara menaklukkan dan memperbudak sebuah bangsa. Pertama dengan pedang; kedua melalui utang (1725-1825).
Dan tampaknya, lompatan pikir Adams kini terbukti. Ada beberapa negara Afrika, contohnya, atau negeri-negeri kecil di Samudra Pasifik, terpaksa harus menyerahkan kedaulatannya kepada China sebab terlilit utang (debt trap). Entah menyerahkan pelabuhan lautnya, atau kini memakai mata uang (Yuan) China, ataupun teritorinya dijadikan pangkalan militer oleh asing dan lain-lain.
Di Indonesia, Leonardus Benny Moerdani (LBM) juga salah satu aktor tentang lompatan pemikiran. Ketika Orde Baru sedang jaya-jayanya. Ia justru mengingatkan Pak Harto tentang kekuasaan yang sudah terlalu lama. Sebagai orang intel sejati, LBM paham betul kondisi di lapangan. Dan apa yang diingatkan oleh LBM akhirnya menjadi kenyataan. Pak Harto turun takhta dengan cara menyakitkan. Hal ini diakui sendiri oleh Pak Harto diwaktu beliau menjenguk LBM yang tergolek sakit (2004). “Kowe pancen sing bener, Ben. Nek aku manut nasihatmu, ora koyo ngene ..” (Kamu yang benar, Ben. Kalau saya ikuti nasihatmu, mungkin keadaan tidak seperti ini). Dan kalimat di atas, konon diulang lagi oleh Pak Harto di depan jenazah LBM.
Itulah contoh kecil tentang lompatan pikiran dari masa ke masa. Masih banyak permisalan lain, baik tokoh maupun era lain yang bisa diambil pelajaran.
Sesungguhnya ada hal perlu digaris bawahi terkait pandangan yang melampaui zaman ini. Seyogianya sebuah lompatan pikir tak harus disampaikan kepada semua orang, apalagi ke publik. Ia harus disampaikan pada saat yang tepat kepada orang yang pas. Tidak boleh diumbar. Mengapa? Jika diumbar, selain riskan dipolitisir, juga bisa menimbulkan kerawanan —bagi yang bersangkutan— karena menimbulkan beragam persepsi. Aneka apriori. Apalagi pandangan itu terkait penguasa dan elit kekuasaan. “Jangan mendekati kolam raja,” kata sanepo Jawa. Memang kudu menunggu momentum. Kenapa? Bila tak tepat waktu, tidak pas orang, justru si pembisik —ahli strategi— bisa tersingkir dari pusar kekuasaan.
Pertanyaan menggelitik pun muncul: “Bagaimana Indonesia ke depan bila dilihat dari perspektif jangkane zaman atau lompatan pikiran?”
Bangsa ini sekarang ibarat berjalan di atas tembok rapuh. Ya, negeri ini tengah memasuki empat skenario geopolitik global, antara lain meliputi:
Pertama, apabila tembok runtuh ke kiri maka akan masuk dalam cengkraman komunisme gaya baru yang diliputi dendam keturunan golongan kiri;
Kedua, jika tembok ambruk ke kanan akan terjerumus di kubangan liberal kapitalisme;
Ketiga, kalau tembok runtuh berkeping-keping maka sesuai narasi “Ghost Fleet”-nya PW Singer. Indonesia bubar. Balkanisasi nusantara menjadi nyata. Dan setiap kepingan, berubah menjadi negara-negara kecil seperti negara pulau (polenesia) di Samudra Pasifik; dan
Keempat, ketika nanti muncul segelintir anak bangsa pilih tanding lalu mengembalikan Kejayaaan Nusantara sebagaimana sanepo leluhur, “Kejayaan Nusantara terulang setiap tujuh abad”. Abad ke-7 Sriwijaya; Abad ke-14 Majapahit; dan Abad ke-21 (mungkin) kelak berujud Indonesia Jaya.
Di Bumi Pertiwi ini masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.