Tag

,

Obrolan di Warung Kopi

Gaduh model pencoblosan pemilu, lebih bagus mana proporsional tertutup atau proporsional terbuka?

Secara praktis, keduanya hanya soal ‘aliran amplop’ saja. Kalau proporsional terbuka lebih besar alirannya, karena selain mengalir ke partai, juga harus dipersiapan amunisi untuk ‘serangan fajar’. “NPWP”. Nomer Piro, Wani Piro?

Jika digunakan proporsional tertutup pun, memang masih ada ‘aliran amplop’ tetapi modusnya administrasi untuk partai pengusung yang kerap disebut dengan istilah ‘uang mahar’. Besar kecilnya relatif. Bahkan konon ada yang gratis. Tapi, biasanya memakai cara lain, contoh, sekian percent gaji harus masuk kas partai, dan lain-lain.

Pendapat penulis, selama sistem konstitusi menggunakan UUD NRI 1945 alias ‘UUD 2002’ hasil empat kali amandemen (1999, 2000, 2001, 2002) terhadap UUD 1945 naskah asli, maka hasilnya akan sama saja. Podo wae. Kenapa? Sebenarnya banyak faktor, tetapi yang pokok ialah bahwa ‘UUD 2002’ dan aturan turunannya telah mengubah praktik dan wajah politik menjadi individualis, liberal, dan kapitalistik, sebagaimana kerap dikatakan Pak Try Soetrisno di setiap diskusi soal konstitusi.

Bagaimana tidak liberal individualis kalau suara pemilih pemula disamakan dengan suara guru besar, ulama, pendeta, dan tokoh lain, ini contoh, atau bagaimana tidak kapitalistik jika mau ‘jadi’ harus keluar banyak duit?

Jadi, perdebatan para elit tentang proporsional tertutup dan terbuka, hanyalah isu hilir semata. Selain kurang substansif, tidak menyentuh ke Kepentingan Nasional RI, juga sekadar residu dari isu (persoalan) hulu yaitu diamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.

Persoalannya akan lain jika sistem kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen. Naskah asli. Tidak ada proporsional tertutup maupun terbuka, namun melalui keterwakilan. Selain mengurangi budget, meminimalisir kegaduhan, juga prinsip keadilan terpenuhi. Hak bicara lebih dikedepankan ketimbang hak suara. Tak ada kalah menang, sebab aspirasi yang ‘kalah’ pun masih bisa ditampung oleh yang ‘menang’. Dan yang mewakili niscaya adalah para tokoh, tetua, atau orang yang dituakan dalam kelompok, suku atau golongan serta pasti telah teruji guna menyuarakan aspirasi warga.

Kesimpulan prematurnya, bahwa model hak bicara lebih baik daripada hak suara. Sistem keterwakilan lebih bijak ketimbang keterpilihan. Jadi, ketika telah masuk ke ranah keterwakilan dan hak bicara, maka model proporsional tertutup dan terbuka niscaya tutup buku.

Cw, 15 Jan 2023