Entah kenapa. Sekarang ini, isu apapun yang muncul di permukaan, publik seketika gaduh. Rakyat langsung terbelah pada kondisi saling berhadapan. Pro ini, pro itu.

Isu Palestina contohnya, timbul pro-kontra bahkan melibatkan elit politik, pengamat, warganet, apalagi para buzzer; atau isu KPK — pun demikian. Gaduh dan gaduh lagi. Belahan sosial terlihat tambah dalam dan kian tajam.

Dan paling aktual hari ini soal Hari Lahir Pancasila. Lagi-lagi, timbul pro kontra di sana-sini. Publik dihadapkan dua pilihan:

  1. Pancasila yang lahir pada 1 Juni 1945 ketika Bung Karno berpidato di depan Sidang BUPKI; atau
  2. Pancasila yang disyahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 dan termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Era orde sebelumnya, Pancasila sudah final. Tinggal melaksanakan 36 butir secara konsekuen.

Kini, di tengah kegaduhan tak kunjung henti soal Hari Lahir Pancasila — geopolitik memberi isyarat, bahwa di era globalisasi yang mulai menggelincir ke masa lalu (bergeser menjadi era revolusi 4.0), semua pola dan jenis penjajahan memang bisa berubah baik kemasan, metode maupun cara — kecuali devide et impera.

Ya. Devide et impera tetap abadi sebagai metode di setiap sistem kolonialisme dimana pun dan sampai kapan pun. Kenapa? Karena lawan yang ditakuti oleh sistem penjajahan adalah rasa persatuan dan kesatuan. Paham?

End