Tag

Diskusi Geopolitik tentang EKA, EKI, ELA dan ETE

Di zaman Pak Harto, segenap anak bangsa pasti mengenal istilah EKA dan EKI sebagai sumber ancaman. EKA itu akronim dari ekstrem kanan, yaitu kelompok dan/atau golongan yang kerap mengangkat isu agama dalam pergerakannya, meski sebenarnya mereka cuma melegitimasi nafsu dan ambisi politiknya pada lembaga agama. Istilah simpelnya, “Mereka menunggangi agama” dalam politik praktis. Sedang EKI atau ekstrem kiri sudah jelas. Sebuah konsep kewaspadaan atas bahaya laten komunis yang sewaktu-waktu muncul kembali. Agaknya rumusan EKI di era orde baru tempo doeloe kini terbukti sebagai ancaman di masa kini. Kenapa? Ada pro-kontra secara masive baik di level elit maupun akar rumput terutama umat Islam, sesepuh dan pensiunan TNI-Polri atas draft UU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diinisiasi DPR-RI.

Lho, Pancasila itu sumber dari segala sumber hukum, kok mau diundangkan? Selain menumbur aspek filosofi, juga aspek (yuridis dan sosiologis) lainnya pun ditabrak. Bahkan Prof DR Yudi Latif, mantan Kepala BPIP berani menyatakan bahwa 80% RUU ini ngawur!

Seiring berjalannya waktu, di era kini muncul ELA sebagai sumber ancaman baru. ELA ialah akronim dari kelompok ekstrem lainnya, di luar EKA dan EKI. Akan tetapi, dalam praktik masih ambigu siapa kelompok dan gerakan macam apa yang dikategorikan ELA. Samar-samar. Mungkin konsep ini semacam “keranjang sampah.” Artinya, jika ada ancaman di luar EKA dan EKI, maka disebut ELA. Itu gampangnya.

Nah, dalam Webinar di Group Nusantara Raya (12/6/2020) bertajuk “Membangun Indonesia Paska Pandemi” dengan ceramah tunggal oleh Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhannas, pada sesi tanya jawab muncul konsep dan istilah baru tentang sumber ancaman lain yakni “ekstrem tengah” (selanjutnya dibaca ETE, biar lebih simpel).

Bila dibanding ELA, konsepsi ETE lebih realita. Inti narasinya begini: “Bertemunya kepentingan antara elit global dan lokal yang fokus mengakomodir semua kepentingan korporatokrasi atau oligarki melalui UU dan aturan dengan cara merombak sistem serta menggerogoti Ideologi Pancasila lewat infrastruktur dan suprastrukur politik. Hasilnya ialah terkurasnya kekayaan bangsa dan hilangnya kemandirian sebuah negara”.

Konsep ETE tampaknya, identik dengan (istilah) non-state actor dalam studi HI dan geopolitik, yakni aktor non-negara yang kedudukannya sejajar dengan negara bahkan di atas negara (above the state) karena mampu membeli kebijakan, mengubah UU dan seterusnya. John Perkins menambahkan, mereka tidak dipilih rakyat tetapi memiliki power yang tidak dibatasi hukum dan UU. Ia bergerak di antara pemerintah dan bisnis. Itulah sekilas tentang ETE.

Betapa usai Cold War, geopolitik telah mewanti-wanti kepada publik global akan adanya ancaman baru: “Kelak bakal muncul bentuk baru ancaman keamanan. Ancaman itu bukanlah serangan militer dari/oleh suatu negara terhadap negara lain, tetapi bentuk baru ancaman keamanan tersebut berupa kejahatan yang dilakukan non-state actor kepada state actor“. Apakah ancaman ini tergolong ETE?

Merujuk judul di atas, sekarang membahas spektrum ancaman.

Pointers diskusi di Forum Sanyata Cofee pimpinan Romeo10 mensinyalir adanya 3 (tiga) spektrum ancaman, antara lain:

Pertama, ancaman dari luar bersifat militer. Ini ranah Kemenhan RI dan jajaran TNI termasuk konsep bela negara di dalamnya. TNI di depan sebagai leading sector didukung komponen bangsa lain seperti Polri, contohnya, atau entitas lain yang siap bela negara;

Kedua, ancaman dari sisi internal baik itu gangguan kamtibmas, gangguan keamanan berintensitas tinggi, maupun extra ordonary dan seterusnya yang mengganggu keamanan dalam negeri. Ini ranah Polri. Ia di depan dibantu oleh TNI, misalnya, atau pemda, komponen bangsa lain dan seterusnya;

Ketiga, ancaman dari luar bersifat nirmiliter (asimetris) seperti pandemi, misalnya, atau ideologi impor yang merusak kesatuan dan persatuan bangsa, serbuan narkoba, dan lain-lain. Untuk ancaman ini yang di depan sebagai leading sector ialah kementerian terkait yang berkompeten dibantu oleh TNI-Polri, masyarakat dan seterusnya. Covid-19, misalnya, seandainya pandemi ini didudukkan oleh negara sebagai ancaman dari luar bersifat asimetris, seyogianya yang di depan Kemenkes RI (bukannya Satgas Covid-19) dibantu oleh instansi terkait.

Nah, dari konsep tiga spektrum ancaman ini terlihat jelas bahwa sesungguhnya tidak ada grey area atau wilayah abu-abu dalam setiap ancaman negara, tetapi ruang grey tadi diisi dengan sinergisitas antar dan lintas institusi serta kementerian terkait, bahkan bisa mengikutkan (rakyat) unsur bela negara.

Maka terkait EKA, EKI, ELA dan ETE di atas, maraknya narkoba misalnya, atau merebaknya Covid-19, ataupun soal RUU HIP, contohnya — apakah hal itu disikapi sebagai peristiwa lazim, bencana nasional, atau ancaman bagi keamanan negara? Itu terpulang judgement para perumus kebijakan karena akan terkait dengan bagaimana cara dan perilaku negara cq rezim —sistem dan aturan— menyikapi peristiwa dimaksud.

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

***) Pointers diskusi di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10: “We Create the Future Leaders.”
****) Catatan ini juga sudah dimuat di THE GLOBAL REVIEW