Tag

, , ,

Keluarnya Britania Raya atau Inggris dari Uni Eropa (UE) —British Exit (Brexit)— sebenarnya sudah bisa ditebak sebelumnya. Kenapa? Ada beberapa indikasi. Pertama, selama tergabung dalam UE, Inggris tidak meninggalkan Poundsterling —tidak menggunakan Uero— sebagai mata uangnya; kedua, UE ternyata bukanlah regionalisme berbasis kerjasama (gotong royong) antarnegara Eropa, akan tetapi justru terlihat sebagai wadah (kawasan) liberalisasi perdagangan atau perdagangan bebas yang kerangka bangunnya ialah persaingan. Sudah barang tentu, ketika bicara Era Kompetitif, liberalisasi perdagangan (free trade) contohnya, maka yang berlaku (hukum tak tertulis) bahwa antara satu (negara) dengan lainnya boleh saling memangsa.

Sesuai judul di atas, saya tidak akan membahas apakah Brexit merupakan ujud currency war (perang mata uang) antara Dollar AS-Poundsterling versus Euro, atau sebab sudah ada peran China di UE, atau bukan pula dikarenakan Inggris dan Amerika (AS) adalah sekutu tradisional sejak dulu, dan lain-lain. Tidak sampai sejauh itu. Jika pun iya, mungkin bahasan sekedar mengaitkan topik agar nyambung saja. Tak lebih.

Fokus tulisan ini, sebenarnya ingin menarik hikmah atas fenomena Brexit justru tatkala publik global mengagungkan teori internasional (isme) atau dogma globalisasi yang konon ajarannya menyatakan, “Bahwa tak ada satu pun negara mampu hidup sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain”.

Secara fisik, ada tiga faktor eksternal mengapa Inggris memilih keluar dari UE. Pertama, bahwa krisis 2008 yang melanda AS dan Eropa masih berlangsung hingga kini bahkan krisis Eropa pun tampaknya kian parah. Beberapa negara Eropa yang terjebak utang seperti Irlandia, Portugal, Spanyol, Yunani, dll sepertinya sulit diselamatkan sebagai negara gagal. Kedua, banyaknya kaum imigran masuk ke EU (akibat konflik tak kunjung usai di Timur Tengah) malah menambah masalah baru di tengah masalah ekonomi negara-negara UE; Ketiga, Inggris selaku Negara Kerajaan tertua di dunia lebih 1000-an tahun umurnya, tidak mau hancur bersama-sama UE.

Dari uraian di atas, hikmah Brexit yang dapat dipetik ialah: (1) bahwa liberalisasi perdagangan dianggap biang kehancuran UE; (2) publik global kurang percaya lagi dengan apa yang dinamakan dogma/teori globalisasi. Ini tertandai dengan kegagalan lembaga internasional seperti G-20, WTO, IMF, dll menyelesaikan masalah ekonomi yang muncul bahkan cenderung dianggap sebagai sumber masalah; dan ke (3) bahwa semakin banyak negara kembali ke pakem nasionalisme.

Dengan adanya Brexit, sesungguhnya telah timbul teladan kepada masyarakat internasional bahwa sesungguhnya nasionalisme ialah “titik berangkat” yang tepat bagi negara manapun tatkala ingin tetap ada (being), nyata (reality) dan berada (existance) di muka bumi. Pertanyaannya kini, kemana Inggris melangkah pasca Brexit?

Tak boleh dipungkiri, pasca Brexit, Inggris kembali lagi ke “konstitusi awal” yakni Kerajaan Britania Raya dengan Commonwealth (kelompok negara jajahan Inggris) berjumlah 53 negara pada 6 (enam) benua dimana jumlah populasi sekitar 2,1-an miliar penduduk. Inggris melepas konstitusi dan mekanisme UE. Artinya, ia ingin menjadi kekuatan nasionalis di tengah arus globalisasi dengan budayanya sendiri dan melalui konstitusi kerajaannya sendiri. Kenapa? Betapa globalisasi (di dalamnya ada free trade) telah menciptakan krisis ekonomi dalam waktu cepat. Krisis 1998 yang melanda Asia belum juga usai contohnya, krisis 2008 pun melanda AS dam UE, lalu sekarang krisis utang publik 2014 melanda China. Inilah sejatinya poin-poin inti yang perlu dicermati oleh negara-negara lain di dunia dalam kasus Brexit. Dan tampaknya, Inggris memilih pakem nasionalisme daripada (mengikuti dogma globalisasi) internasionalisme.

Dengan demikian, boleh diambil definisi (sementara) bahwa Brexit adalah fenomena politik global ketika pakem, aturan, dogma, teori atau apapun pola yang dijadikan acuan pada sebuah komunitas di kawasan tertentu (Uni Eropa) justru pakem tersebut menimbulkan beban masalah bagi pelaku-pelaku di dalamnya, kemudian salah satu pelaku/negara di dalamnya cenderung mencari pola-pola baru, atau kembali pada pola lama guna menghindari masalah dan/atau menyelesaikan persoalan yang muncul. Itulah Brexit.

Akan tetapi, ketika Menteri Utama Skotlandia, Nicola Sturgeon, Jumat (2/9/2016) meluncurkan jajak pendapat terkait upaya Skotlandia melepaskan diri dari Inggris, pertanyaannya adalah: “Apakah ini hukum timbal balik (karma) atas peristiwa Brexit, atau sekedar side effect (dampak samping) keteladanan Inggris tentang manisnya nasionalisme?”

Inilah yang terjadi, bahwa Brexit telah menimbulkan kondisi berbeda dibanding saat referendum kemerdekaan Skotlandia pada 2014 kemarin. “Brexit memunculkan kembali isu kemerdekaan. Dan kemerdekaan membuat kami bisa menentukan sendiri masa depan negeri ini,” ujar Nicola Sturgeon kepada anggota parlemen dari Partai Nasional Skotlandia. Luar biasa! Karena tampaknya, Partai Nasional Skotlandia sangat mendukung keinginan negeri itu berpisah dari Inggris.

Jajak pendapat pun digelar secara online —tanpa ada letusan peluru— terhadap dua juta warga atau setengah dari warga yang punya hak pilih, dimana hasilnya akan diumumkan pada 30 November 2016 mendatang. Maka sesuai judul catatan ini, kasus jajak pendapat di Skotlandia pasca fenomena Brexit adalah drama konstitusi tingkat dunia tentang manisnya nasionalisme, yang berjudul: “Ada ‘Brexit’ di dalam Brexit”.

(Bersambung ke 2, judulnya: Ada “Indonesia” di Atas Indonesia!)

ADA BREXIT DI DALAM BREXIT